Sunday, November 12, 2017

MERANCANG PEMBELAJARAN MENGGALI NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN KEARIFAN LOKAL DALAM TEKS SASTRA LAMA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Dengan rahmat dan karunia-Nya tersebut, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir tentang Merancang Pembelajaran Menggali Nilai-nilai Pendidikan dan Kearifan Lokal dalam Teks Sastra Lama. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sastra Terapan.
Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis dibimbing dan diberi motivasi oleh berbagai pihak, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Hasanuddin WS, M.Hum. dan Dr. Yeni Hayati, M.Hum. selaku dosen pembimbing mata kuliah Sastra Terapan yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan.
Penulis mengharapkan adanya penilaian dalam penyusunan tugas akhir ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun diperlukan untuk dapat melengkapi dan menyempurnakan tugas akhir ini, semoga hasil tugas akhir ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya.


Padang, April 2016

Penulis



MERANCANG PEMBELAJARAN MENGGALI NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN KEARIFAN LOKAL DALAM TEKS SASTRA LAMA

A. Pendahuluan

Pendidikan bagi umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi atau cita-cita untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Untuk memajukan kehidupan manusia, pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten, berdasarkan berbagai pandangan teoretikal dan praktik sepanjang waktu sesuai dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri.
Masalah pendidikan merupakan tema yang menarik untuk dibicarakan dalam karya sastra. Sastra dan pendidikan memiliki keterkaitan yang erat, karena sastra dan pendidikan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan kemanusiaan. Manusia yang memiliki wawasan yang kuat adalah manusia yang memperleh pendidikan, baik dari keluarga, sekolah, masyarakat ataupun lembaga pendidikan lainnya.
Karya sastra merupakan suatu wujud imajinatif yang menggambarkan masyarakat dari segala segi kehidupan sebagai titik tolok proses kreativitas pengarang. Sastra juga mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh pengarang tentang kehidupan manusia yang diungkapkan melalui bahasa. Untuk itu, dalam menciptakan karya sastra dituntut adanya suatu kreativitas yang tinggi dalam mengemukakan ide, gagasan, pandangan, dan pemahaman. Kreativitas itu tidak hanya menghasilkan dan melahirkan pengalaman batin, seperti halnya mewujudkan daya imajinasi pencipta dalam karyanya. Seorang pengarang harus bisa menentukan nilai yang terbaik dari pengalaman batin tersebut berdasarkan pengalaman hidup manusia.
Karya sastra ada karena adanya dorongan dasar dari manusia itu sendiri untuk mengungkapkan dirinya. Sehingga menaruh minat terhadap dunia realita yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Dalam kamus istilah sastra, Sudjiman (1990:71) mengatakan bahwa sastra adalah karya lisan atau lukisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan, dalam isi dan pengungkapannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik nilai-nilai pendidikan, pengertian dan karakteristik kearifan lokal, hakikat teks sastra lama, serta implementasi nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal dalam pembelajaran apresiasi sastra.

1. Nilai-nilai Pendidikan

Nilai berasal dari kata value dalam bahasa inggris yang disinonimkan dengan kata nilai dalam bahasa Indonesia, beras. Secara sederhana, nilai merupakan rujukan keyakinan yang berharga untuk menentukan pilihan bertindak dalam kehidupan (Abdurahman, 2011:31). Nilai mencakup konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Karena sistem nilai bersifat abstrak, maka perlu diketengahkan beberapa indikator nilai-nilai sebagai berikut, (1) konsepsi mengenai hakikat hidup, (2) konsepsi mengenai hakikat karya manusia, (3) konsepsi mengenai hakikat waktu, (4) konsepsi mengenai hakikat lingkungan dan alam, dan (5) konsepsi mengenai hakikat lingkungan sosial.
Koentjaraningrat (2009:26) menyatakan bahwa istilah nilai setara dengan mentalitas. Mentalitas adalah keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam menanggapi lingkungannya. Nilai berhubungan dengan sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan berupa ide-ide atau gagasan yang mendasari pola-pola budaya masyarakat dalam menanggapi unsur-unsur jasmaniah dan rohaniah. Menurut Asmani, (2011:64-65) ada empat basis nilai pendidikan karakter, yaitu, (1) pendidikan karakter berbasis nilai religius; (2) pendidikan karakter berbasis nilai budaya; (3) pendidikan karakter berbasis lingkungan; (4) pendidikan karakter berbasis potensi diri. Berdasarkan kajian berbagai nilai agama, norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, maka telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama yang juga dikemukakan oleh Asmani, (2011:36-41) yaitu, perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan. Selanjutnya Prayitno dan Afriva (2009:130-139) merumuskan lima fokus nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber dari pengembangan komponen/unsur-unsur harkat dan martabat manusia (HMM) dan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, yaitu: (1) keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) kejujuran; (3) kecerdasan; (4) ketangguhan; (5) kepedulian. Kemudian Prayitno dan Afriva, merinci nilai-nilai tersebut dalam bentuk konsep yang lebih spesifik dan lebih konkret dalam penampilan perilaku.
Selanjutnya Zubaedi (2011:191), menjelaskan bahwa pendidikan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses, dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan, dan sikap orang yang bersangkutan. Dari kutipan para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai pendidikan adalah proses merubah perilaku individu ke arah kematangan dan kedewasaan. Pendidikan adalah proses membentuk pikiran, membangun prilaku dan sikap, memuliakan kemanusiaan manusia ke arah kedewasaan, kematangan, serta perilaku yang diharapkan sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Nilai-nilai yang harus ada dalam pendidikan menurut Sjarkawi (2011:34), adalah: (1) amal saleh, (2) amanah, (3) antisipatif, (4) baik sangka, (5) bekerja keras, (6) beradab, (7) berani berbuat benar, (8) berani memikul resiko, (9) berdisiplin, (10) berhati lapang, (11) berhati lembut, (12) beriman dan bertakwa, (13) berinisiatif, (14) berkemauan keras, (15) berkepribadian, (16) berpikir jauh ke depan, (17) bersahaja, (18) Nilai-nilai pendidikan di Indonesia bersumber dari agama, Pancasila, dan budaya, serta tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius. (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat dan komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.
Untuk kepentingan dalam menganalisis karya sastra berupa teks sastra lama dari beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat dirumuskan  nilai-nilai pendidikan tersebut dirangkum menjadi empat nilai, yaitu (1) nilai pendidikan religius dengan indikator sikap dan perilaku percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan, bersyukur, amanah, dan ikhlas. (2) Nilai pendidikan ketangguhan dengan indikator sikap dan perilaku disiplin, ulet, dan berani menanggung resiko. (3) Nilai-nilai pendidikan kepedulian dengan indikator sikap dan perilaku kasih sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli sosial, dan cinta keluarga. (4) Nilai-nilai pendidikan kejujuran dengan indikator sikap dan perilaku bertanggung jawab, memenuhi kewajiban, lapang dada, memegang janji, dan demokratis.

2. Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Wales. Menurut Wales (dalamYunus, 2014:36) kearifan lokal yaitu kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Menurut Yunus (2014:37) kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat  tertentu dan di tempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangun karakter bangsa. Dapat disimpulkan dari pendapat di atas, kearifan lokal merupakan suatu kebiasaan yang menjadikan tradisi masyarakat secara turun menurun oleh adat daerah diberbagai wilayah. Dilihat dari struktur dan tingkatannya Yunus (2014: 37) menjelaskan kearifan lokal berada pada tingkat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat majemuk dalam struktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri, dan merajut kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Minang, Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, dan Nias. Setiap etnis memiliki budaya dan pedoman hidup masing-masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasama. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya, dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu, dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Minangkabau merupakan daerah yang memiliki khasanah budaya yang elok baik itu berasal dari kesenian, aktivitas sosial budaya, tata interaksi antara sesama, maupun peninggalan sejarahnya semua tumbuh dan berkembang dari generasi kegenerasi. Mungkin banyak dari generasi muda sekarang ini tidak mengetahui tentang kearifan lokal apa yang dimiliki sekarang dan itu merupakan peninggalan nenek moyang kita. Kenyataan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahteraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal.
Lingkup budaya, dimensi fisik dari kearifan lokal meliputi aspek: (1) upacara adat, (2) cagar budaya, (3) pariwisata alam, (4) transportasi tradisional, (5) permainan tradisional, (6) prasarana budaya, (7) pakaian adat, (8) warisan budaya, (9) museum, (10) lembaga budaya, (11) kesenian, (12) desa budaya, (13) kesenian dan kerajinan, (14) cerita rakyat, (15) dolanan anak, dan, (16) wayang. Provinsi Sumatera Barat atau dikenal dengan Ranah Minang, memiliki beberapa jenis kearifan lokal sosial budaya yang berkaitan  dengan seluruh sumber daya yang ada. Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku etnis yang ada di Indonesia memiliki sejumlah nilai-nilai moral sosial budaya yang terdapat dalam wujud kebudayaan Minangkabau. Nilai moral sosial budaya Minagkabau merupakan jati diri dari suku Minangkabau yang bersumber pada nilai, kepercayaan, dan peninggalan sosial budaya Minangkabau yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari dalam bernagari.
Menurut Navis (1984) kebudayaan dan nilai-nilai masyarakat Minangkabau merupakan wujud kreatifitas akal dan budi yang terpola dan memuat sistem nilai dan norma moral sebagai bentuk etika yang saling berkaitan dengan melekat pada lingkungan masyarakat Minangkabau yang diyakini kebenarannya dan terimplementasi dalam sejarah kehidupan masyarakat Minangkabau, sehingga sampai saat ini masih dianggap bernilai, berharga, penting dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari baik bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.

3. Teks Sastra Lama atau Sastra Melayu Klasik

Sastra lama disebut juga dengan sastra Melayu klasik atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Karya sastra Melayu klasik adalah jenis sastra yang berkembang pada masa masyarakat Melayu tradisional. Secara umum, bentuk karya sastra Melayu lama memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a.    Nama penciptanya tidak di ketahui (anonim). Karena itu, karya sastra lama merupakan milik masyarakat itu sendiri.
b.    Bersifat pralogis, mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
c.    Berkembang secara statis (diam/tidak bergerak). Dalam bentuk prosa, misalnya selalu menggunakan kata-kata klise (kata yg sering digunakan sehingga kehilangan keaslian maknanya), menurut empunya cerita, konon dan sejenisnya. Di samping itu, sastra Melayu klasik di penuhi pula dengan berbagai ungkapan, peribahasa, dan aneka jenis majas.
d.   Yang dikisahkan berupa kehidupan istana (istanasentris), raja-raja, dewa-dewa, para pahlawan, atau tokoh-tokoh mulia lainnya.
e.    Disampaikan secaral lisan, dari mulut ke mulut. Karenanya, tidak mengherankan apabila cerita klasik memiliki banyak versi. Setiap orang yang menyampaikan cerita itu dengan berbagai penambahan dan perubahan di sana-sini sesuai dengan pemahaman orang yang bersangkutan terhadap cerita itu.
Penggolongan sastra lama atau sastra Melayu klasik dapat dikelompokan ke dalam dua bentuk. Pertama, berupa prosa yang berbentuk hikayat. Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang. Tema dominan dalam hikayat adalah petualangan. Biasanya diakhir kisah, tokoh utamanya berhasil menjadi raja atau orang yang mulia. Oleh karena itu alurnya pun cenderung monoton. Penokohan dalam hikayat bersifat hitam putih artinya tokoh yang baik biasanya selalu baik dari awal hingga akhir kisah ia pun dilengkapi dengan wajah dan tubuh yang sempurna begitu pula sebaliknya tokoh jahat walaupun tidak semuanya berwajah buruk.
Kedua, berupa puisi yang ragam bahasanya terikat oleh rima an tata puitika yang lain (tipografi), gubahannya dalam bahasa yang ditentukan dipilih dan ditata secara cermat. Serta puisi dapat membangkitkan tanggapan khusus terutama penataan bunyi, irama, dan makna. Jenis-jenis puisi lama ini antara lain (1) mantra adalah puisi lama yang mengandung kekuatan gaib yang biasanya digunakan oleh pawang, (2) peribahasa adalah ungkapan ringkasan padat yang mengandung unsur  kebenaran, (3) pantun adalah puisi lama yang terdiri dari 4 baris. 2 barir pertama merupakan sampiran, dan 2 baris selanjurnya adalah isi, (4) syair adalah bentuk puisi lama yang memiliki 4 baris yang berima sama, (5) gurindam adalah bentuk puisi lama yang terdiri dari 2 larik. Larik pertama berisi sebab, dan larik kedua berisi akibat, dan (6) talibun adalah puisi lama yang berlarik lebih dari 4.
Selanjutnya sastra lama atau sastra Melayu klasik juga dikelompokan berdasarkan jenis. Pertama, sastra lisan menurut Djamaris (1994:26), jenis sastra lisan Minangkabau antara lain kaba, pantun, pepatah-petitih, dan mantra. Sastra tradisonal Minangkabau yang menonjol kaba, cerita prosa liris, sejenis pantun dalam sastra Sunda. Kaba berbeda dengan hikayat dalam bahasa Melayu dari segi gaya bahasanya. Hikayat ditulis dengan gaya bahasa prosa biasa, sedang kaba ditulis dengan gaya prosa liris.
Kedua, sastra tertulis berupa naskah ini merupakan tahap kedua kehidupan sastra Minangkabau berupa naskah (tulisan tangan) dengan menggunakan huruf Arab Melayu, kemudian dengan huruf Latin. Naskah sastra Minangkabau ini sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden, dan London (Djamris, 1994:27). Ketiga, sastra tertulis berupa buku ini merupakan tahap ketiga kehidupan sastra Minangkabau berupa buku cetakan.  Karya sastra Minangkabau yang sudah dicetak dan diterbitkan ialah kaba.

B. Merancang Pembelajaran Menggali Nilai-nilai Pendidikan dan Kearifan Lokal dalam Teks Sastra Lama

1. Analisis Nilai-nilai Pendidikan dan Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra

Teks sastra lama yang diambil untuk dianalisis nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokalnya di sini adalah teks sastra lama berupa cerita rakyat yang berasal dari daerah Minangkabau. Cerita rakyat ini berkisah tentang asal mula nama salah satu daerah di Sumatera Barat yaitu Maninjau, Kabupaten Agam. Cerita rakyat itu berjudul Asal Mula Danau Maninjau, berikut kisahnya.
Di sebuah perkampungan di kaki Gunung Tinjau, Sumatra Barat, hiduplah 10 orang bersaudara. Mereka terdiri dari sembilan laki-laki dan satu anak perempuan. Ayah dan ibu mereka telah meninggal dunia. Anak tertua bernama Kukuban. Sementara itu, si bungsu yang merupakan satu-satunya perempuan, bernama Siti Rasani atau Sani. Karena jumlah laki-laki bersaudara itu sembilan orang, penduduk sekitar sering menyebut mereka dengan Bujang Sembilan.
Semenjak orangtua mereka meninggal dunia, mereka diasuh oleh seorang paman, yaitu Datuk Limbatang yang biasa mereka panggil Engku. Datuk Limbatang mempunyai seorang anak lelaki bernama Giran.
Setelah menginjak dewasa, Giran dan Sani saling jatuh cinta. Pada mulanya, mereka menyembunyikan hubungan tersebut. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak baik, akhirnya mereka mengungkapkan hubungan ini kepada keluarga masing masing. Kedua keluarga itu menyambut hubungan Sani dan Gani dengan suka cita.
Saat panen usai, warga di perkampungan itu melangsungkan perayaan adat berupa silat. Semua bersemangat mengikuti upacara ini, termasuk Kukuban dan Giran.
Kukuban dengan keahlian silatnya berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Hal yang sama terjadi pada Giran. Akhirnya, keduanya bertemu pada pertandingan penentuan.
Ketika pertarungan berlangsung, keduanya mengeluarkah keahlian masing-masing. Kukuban sangat tajam melancarkan serangan-serangan kepada Giran. Suatu saat, ia melancarkan tendangan ke arah Giran, tetapi tendangan tersebut ditangkis dengan keras oleh Giran. Semua penonton tercengang ketika tiba-tiba Kukuban berteriak kesakitan. Ternyata, kaki Kukuban patah. la dinyatakan kalah dalam pertarungan.
Semenjak kejadian itu, Kukuban menyimpan dendam pada Giran. la tidak terima dikalahkan oleh Giran dan menyebabkan kakinya patah.
Suatu hari, Datuk Limbatang dan keluarganya datang ke rumah Bujang Sembilan untuk membicarakan kelanjutan hubungan Sani dan Giran. Di luar dugaan, Kukuban menentang hubungan adiknya dengan Giran. Terjadilah perselisihan antara Kukuban dan Datuk Limbatang.
“Sampai kapan pun aku tidak akan menyetujui pernikahan Sani dengan anak Engku. Giran sudah mempermalukanku di depan penduduk dan ia juga mematahkan kakiku!” ujar Kukuban. Usaha Datuk Limbatang membujuk Kukuban agar memberikan persetujuannya tidak membuahkan hasil.
“Anakku, Kukuban, mengapa engkau membenci Giran? Semua menyaksikan bahwa kaulah yang menyerang Giran, ketika Giran terpojok ia menangkis tendanganmu sehingga kakimu patah. Giran tidak bersalah. Engku bukan membela anak Engku, tetapi memang begitulah kejadian yang sebenarnya.”
Namun, semua sia-sia. Kukuban tetap menolak memberikan restunya. Sani dan Giran tidak bisa menikah.
Betapa sedihnya hati Sani dan Giran. Giran Ialu mengajak Sani untuk bertemu di suatu tempat membicarakan masalah ini. Keesokan harinya, mereka bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai.
“Apa yang harus kita perbuat, Dik. Abangmu sangat tidak merestui hubungan kita,” keluh Giran.
“Entahlah, Bang. Semua keputusan ada di tangan Bang Kukuban. Dia benci, sekali kepada Abang;” isak Sani. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba, sarung yang dikenakannya tersangkut di sebuah ranting berduri dan melukai kakinya hingga berdarah. Sani merintih kesakitan “Adik, kamu terluka. Abang akan bantu mengobatinya,” ujar Giran. Lalu, Giran mengambil daun-daun obat di sekitarnya dan mengoleskan ramuan yang dibuatnya ke bagian luka kekasihnya.
Mereka berdua tidak menyadari kalau mereka sedang diawasi. Ternyata, Kukuban telah memanggil warga untuk mengawasi Sani clan Giran.
Melihat Giran yang sedang mengobati luka di kaki Sani, warga mempunyai prasangka yang buruk terhadap keduanya. Sani dan Giran digiring warga untuk diadili, karena dianggap telah melakukan perbuatan yang memalukan dan melanggar etika adat.
Sidang adat memutuskan bahwa mereka bersalah dan sebagai hukumannya keduanya harus dibuang ke Kawah Gunung Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi penduduk.
Sani dan Giran digiring menuju puncak Gunung Tinjau. Mata mareka ditutup dengan kain hitam. Giran dan Sani masih tetap berusaha meyakinkan penduduk bahwa mereka tidak bersalah.
Di puncak Gunung Tinjau, Giran menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ya Tuhan. Jika kami tidak bersalah, Ietuskanlah gunung ini sehingga menjadi pelajaran bagi mereka semua,” doa Giran sambil berurai air mata. Lalu, Sani dan Giran meloncat ke dalam kawah yang sangat panas.
Bujang Sembilan dan para penduduk merasa cemas dengan doa yang dipanjatkan Giran. Jika ternyata mereka salah menuduh, mereka akan hancur.
Tidak lama kemudian, terjadilah letusan dahsyat yang menyebabkan gempa hebat yang menghancurkan Gunung Tinjau dan pemukiman penduduk yang berada di sekitarnya.
Tidak ada satu pun yang selamat. Letusan tersebut menyebabkan terjadinya sebuah kawah yang semakin lama semakin besar, sehingga menyerupai sebuah danau. Danau tersebut disebut dengan Danau Maninjau.
Keterampilan mengapresiasi menumbuhkan pengertian penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Kegiatan mengapresiasikan karya sastra berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Siswa dalam mempelajari teks sastra lama terutama cerita rakyat dapat memulainya denga membaca sekilas. Setelah itu barulah guru bisa memberikan ransangan kepada siswa tentang pelajaran apa yang mereka dapatkan dengan membaca sekilas teks sastra lama tersebut. Kegiatan selanjutnya dalam mengapresiasi karya sastra berupa teks sastra lama, dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini.
-            Mengamati
Guru membacakan cerita rakyat Asal Mula Danau Maninjau dan siswa menyimak serta memahami cerita rakyat yang dibacakan tersebut.
-            Menanyakan
Guru menanyakan tentang cerita rakyat.
Guru menanyakan tentang cerita rakyat yang dibacakan tersebut.
Guru menanyakan tentang pemahaman siswa terkait dengan nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut.
-            Mengeksplorasi
Siswa mendiskusikan nilai-nilai pendidikan serta kearifan lokal apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut.
-            Mengasosiasikan
Siswa menganalisis dan menuliskan nilai-nilai pendidikan serta kearifan lokal yang terdapat di dalam cerita rakyat tersebut.
-            Mengomunikasikan
Siswa mempresentasikan nilai-nilai pendidikan serta kearifan lokal yang terdapat di dalam cerita rakyat di depan kelas.


a. Analisis Nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau

Format 1. Analisis Data Nilai-nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau
No
Indikator Nilai-nilai Pendidikan
Pertanyaan Pembantu
Temuan melalui Ucapan Tokoh, Tindakan Tokoh, dan Paparan Narator
Kutipan
1.
2.
3.
4.





Tabel 1. Analisis Data Nilai-nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau
No
Indikator Nilai-nilai Pendidikan
Pertanyaan Pembantu
Temuan melalui Ucapan Tokoh, Tindakan Tokoh, dan Paparan Narator
Kutipan
1.
Nilai pendidikan religius
-       Apakah ada kata, frasa, klausa, dan kalimat pada cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan perilaku percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan, bersyukur, amanah, dan ikhlas?
- Paparan narator, mengenai tokoh Sani dan Giran yang saling mencintai, mulanya hubungan mereka disembunyikan karena untuk menghindari hal-hal yang tidak baik maka mereka mengungkapkan hubungan tersebut ke keluarga masing-masing. Sikap yang tokoh tunjukka di dalam cerita berhubungan dengan indikator percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan.
- Ucapan tokoh, yang berhubungan dengan indikator percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, amanah, dan ikhlas dituturkan oleh tokoh Giran saat dituduh melakukan perbuatan yang memalukan dan melanggar etika adat bersama tokoh Sani. Karena kepercayaan akan adanya Tuhan atas perbuatan dan tuduhan yang tidak pernah dia lakukan maka ia berdoa dan ikhlas menjalani hukuman itu.
- Setelah menginjak dewasa, Giran dan Sani saling jatuh cinta. Pada mulanya, mereka menyembunyikan hubungan tersebut. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak baik, akhirnya mereka mengungkapkan hubungan ini kepada keluarga masing-masing. Kedua keluarga itu menyambut hubungan Sani dan Gani dengan suka cita.




- Sani dan Giran digiring menuju puncak Gunung Tinjau. Mata mareka ditutup dengan kain hitam. Giran dan Sani masih tetap berusaha meyakinkan penduduk bahwa mereka tidak bersalah.
Di puncak Gunung Tinjau, Giran menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ya Tuhan. Jika kami tidak bersalah, Ietuskanlah gunung ini sehingga menjadi pelajaran bagi mereka semua,” doa Giran sambil berurai air mata. Lalu, Sani dan Giran meloncat ke dalam kawah yang sangat panas.

2.
Nilai pendidikan ketangguhan
-       Apakah ada kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan perilaku disiplin, ulet dan berani menanggung resiko?
Paparan narator, berhubungan dengan tokoh Kukuban dan Giran yang menggambarkan sikap dan perilaku disiplin, ulet dan berani menanggung resiko ialah ketika acara perayaan adat berupa silat setelah musim panen usai. Mereka sama-sama pemberani dengan mengalahkan lawan-lawan mereka, kedisiplinan meraka terlihat ketika mereka harus bertempur saat final sebab hanya mereka berdua pesilat diakhir acara yang tersisa. Namanya pertandingan tentu harus ada kalah dan menang, bagaimana pun dekatnya hubungan mereka, mereka harus tetap bertanding itu merupakan resiko yang harus mereka tanggung demi menjunjung sportivitas dalam bertanding.
Saat panen usai, warga di perkampungan itu melangsungkan perayaan adat berupa silat. Semua bersemangat mengikuti upacara ini, termasuk Kukuban dan Giran.
Kukuban dengan keahlian silatnya berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Hal yang sama terjadi pada Giran. Akhirnya, keduanya bertemu pada pertandingan penentuan.
3.
Nilai-nilai pendidikan kepedulian
-       Apakah ada kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan perilaku kasih sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli sosial, dan cinta keluarga?
- Paparan narator yang berhubungan dengan kasih sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli sosial, dan cinta keluarga ini digambarkan oleh tokoh Datuk Limbatang di mana setelah kedua orang tua Bujang Sembilan dan Sani meninggal kesepuluh kakak beradik ini di pelihara oleh Datuk Limbatang yang merupakan Mamak atau Paman mereka sendiri. Bukti kasih sayang, kepedulian serta cintanya Datuk Limbatang kepada keluarganya.
- Ucapan dan tindakan tokoh yang menggambarkan prilaku kasih sayang saat tokoh Giran mengobati kaki tokoh Sani yang terluka.
Semenjak orangtua mereka meninggal dunia, mereka diasuh oleh seorang paman, yaitu Datuk Limbatang yang biasa mereka panggil Engku. Datuk Limbatang mempunyai seorang anak lelaki bernama Giran.








“Entahlah, Bang. Semua keputusan ada di tangan Bang Kukuban. Dia benci, sekali kepada Abang;” isak Sani. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba, sarung yang dikenakannya tersangkut di sebuah ranting berduri dan melukai kakinya hingga berdarah. Sani merintih kesakitan “Adik, kamu terluka. Abang akan bantu mengobatinya,” ujar Giran. Lalu, Giran mengambil daun-daun obat di sekitarnya dan mengoleskan ramuan yang dibuatnya ke bagian luka kekasihnya.
4.
Nilai-nilai pendidikan kejujuran
-       Apakah ada kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan perilaku bertanggung jawab, memenuhi kewajiban, lapang dada, memegang janji, dan demokratis?
- Paparan tokoh mengenai kedatangan tokoh Datuk Limbatang yang datang ke rumah Bujang Sembilan untuk membicarakan hubungan Giran dan Sani. Ini menggambarkan sikap dan perilaku bertanggung jawab, memenuhi kewajiban, serta demokratis sebagai ayah dan mamak/paman untuk meminta persetujuan Bujang Sembilan agar menyetujui hubungan Giran dengan Sani untuk menikah.
- Ucapan tokoh Datuk Limbatang, Giran, dan Sani yang menggambarkan sikap berlapang dada terlihat saat Datuk Limbatang menjelaskan masalah pertengkaran Giran dengan Kukuban. Betapa tenangnya Datuk Limbatang meminta persetujuan dan menasehati Kukuban tersebut walau usahanya tidak dihargai dengan baik oleh kemenakannya itu. Selanjutnya kelapangan hati Giran dan Sani juga terlihat saat menerima tuduhan yang diberikan kepada mereka serta dibuang ke Kawah Gunung Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi orang banyak.
Suatu hari, Datuk Limbatang dan keluarganya datang ke rumah Bujang Sembilan untuk membicarakan kelanjutan hubungan Sani dan Giran. Di luar dugaan, Kukuban menentang hubungan adiknya dengan Giran. Terjadilah perselisihan antara Kukuban dan Datuk Limbatang.




“Anakku, Kukuban, mengapa engkau membenci Giran? Semua menyaksikan bahwa kaulah yang menyerang Giran, ketika Giran terpojok ia menangkis tendanganmu sehingga kakimu patah. Giran tidak bersalah. Engku bukan membela anak Engku, tetapi memang begitulah kejadian yang sebenarnya.”
Namun, semua sia-sia. Kukuban tetap menolak memberikan restunya. Sani dan Giran tidak bisa menikah.
Sani dan Giran digiring menuju puncak Gunung Tinjau. Mata mareka ditutup dengan kain hitam. Giran dan Sani masih tetap berusaha meyakinkan penduduk bahwa mereka tidak bersalah.
Di puncak Gunung Tinjau, Giran menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.


b. Analisis Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau

Kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dan ditempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa. Kearifan lokal merupakan perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan melalui pandangan hidup, pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya. Dalam pengertian inilah kearifan lokal sebagai jawaban untuk bertahan dan menumbuhkan secara berkelanjutan kebudayaan yang didukungnya.
Masing-masing etnis di Indonesia pasti memiliki kearifan lokal tersendiri yang unik, menarik, dan berbeda dengan daerah lain. Salah satunya etnis Minangkabau memiliki banyak kearifan lokal, kearifan lokal tersebut dapat terwujud ke dalam berbagai bentuk, mulai dari kebiasaan-kebiasaan, aturan, nilai-nilai, tradisi, bahkan agama yang dianut masyarakat setempat. Bentuk-bentuk kearifan lokal lainnya dalam masyarakat Minangkabau misalnya adalah norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.
Cerita rakyat Asal Mula Danau Maninjau, memiliki unsur kearifan lokal berupa hubungan kekeluargaan yang dijunjung tinggi orang Minangkabau yang tidak boleh terputus. Dalam cerita mengisahkan bagaimana hubungan antara mamak dengan kemenakan, mamak merupakan saudara laki-laki oleh ibu yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap kemenakan dan tanah pusaka orang tuanya walaupun ia telah berkeluarga. Sebab kedudukan ia di rumah istrinya hanya sebagai tamu atau dikenal dengan sebutan sumando. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
Semenjak orang tua mereka meninggal dunia, mereka diasuh oleh seorang paman, yaitu Datuk Limbatang yang biasa mereka panggil Engku. Datuk Limbatang mempunyai seorang anak lelaki bernama Giran.
Pada kutipan di atas jelas bahwa kedudukan seorang mamak yang harus memelihara kemenakannya setelah saudara perempuannya meninggal dunia. Berhubungan dengan itu falsafah Minang mengatakan anak di pangku, kamanakan dibimbiang (anak dipangku, kemenakan dibimbing). Hal ini maknanya seorang lelaki Minang bertanggung jawab terhadap anak sebagai darah dagingnya, membesarkan dengan harta pencaharian sendiri dan kemenakan dibimbing dengan harta pusaka.
Kearifan lokal tentang bagaimana kebiasaan atau tradisi orang Minangkabau setelah musim panen selesai yaitu dengan melakukan perayaan adat berupa silat. Perayaan ini dilakukan sebelum masyarakat turun lagi ke sawah untuk bercocok tanam. Pada zaman dahulu ini merupakan acara akbar yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh masyarakat pada saat itu. Penjelasan ini pada kutipan berikut.
Saat panen usai, warga di perkampungan itu melangsungkan perayaan adat berupa silat. Semua bersemangat mengikuti upacara ini, termasuk Kukuban dan Giran.
Kutipan di atas memaparkan bagaimana antusias semua masyarakat menyambut acara perayaan adat tersebut. Di sisi lain dari perayaan itu, terlihat juga bagaimana etnis Minang menjunjung tinggi sportivitas dalam sebuah pertandingan. Peraturan dalam sebuah pertandingan harus ada yang kalah dan menang. Peraturan ini berlaku bagi semua orang yang mengikuti pertandingan walaupun yang akan bertarung tersebut orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Di akhir pertandingan pemenang akan digelari seorang pendekar, bagi orang Minangkabau pemenang itu diberi gelar dengan sebutan pandeka. Hal ini tergambar pada kutipan berikut.
Kukuban dengan keahlian silatnya berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Hal yang sama terjadi pada Giran. Akhirnya, keduanya bertemu pada pertandingan penentuan.
Ketika pertarungan berlangsung, keduanya mengeluarkah keahlian masing-masing. Kukuban sangat tajam melancarkan serangan-serangan kepada Giran. Suatu saat, ia melancarkan tendangan ke arah Giran, tetapi tendangan tersebut ditangkis dengan keras oleh Giran. Semua penonton tercengang ketika tiba-tiba Kukuban berteriak kesakitan. Ternyata, kaki Kukuban patah. la dinyatakan kalah dalam pertarungan.
            Kearifan lokal yang berbentuk adat-istiadat etnis Minang sebelum melakukan acara perkawinan. Adat itu disebut dengan istilah maminang maksudnya pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk melamar atau meminta seorang anak gadis yang disukai untuk menjadi istrinya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
Suatu hari, Datuk Limbatang dan keluarganya datang ke rumah Bujang Sembilan untuk membicarakan kelanjutan hubungan Sani dan Giran. Di luar dugaan, Kukuban menentang hubungan adiknya dengan Giran. Terjadilah perselisihan antara Kukuban dan Datuk Limbatang.
“Anakku, Kukuban, mengapa engkau membenci Giran? Semua menyaksikan bahwa kaulah yang menyerang Giran, ketika Giran terpojok ia menangkis tendanganmu sehingga kakimu patah. Giran tidak bersalah. Engku bukan membela anak Engku, tetapi memang begitulah kejadian yang sebenarnya.”
Namun, semua sia-sia. Kukuban tetap menolak memberikan restunya. Sani dan Giran tidak bisa menikah.
            Kutipan di atas menjelaskan tentang adat Minang dalam hal aturan untuk melakukan perkawinan. Ayah dan keluarga Giran datang ke rumah Bujang Sembilan untuk melamar Sani agar bisa menjadi istrinya Giran. Akan tetapi permohonan itu ditolak oleh Bujang Sembilan. Di sisi lain terlihat juga kearifan seorang ayah sekaligus berperan sebagai mamak di rumah tersebut dalam meredam emosi kemenakannya sendiri. Datuk Limbatang dalam posisi yang sulit menghadapi kerasnya kemenakan yang dibesarkan serta dididiknya sendiri. Dalam adat Minangkabau perkawinan antara anak dan kemenakan itu dianggap baik. Pada umumnya orang Minangkabau pada masa dahulu mencari calon menantu mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang berlaku waktu itu dengan kata lain pihak laki-laki dan perempuan yang akan menikah harus sederajat tingkat kebangsawanannya. Ciri khas pada masa dahulu calon suami atau istri mencari hubungan keluarga terdekat, seperti pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ke mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang ke bako ialah mengawini kemenakan ayah.
            Kearifan lokal masyarakat Minangkabau yang lain terlihat dengan cara mereka mengambil keputusan dalam suatu perkara. Dalam memutuskan sebuah perkara orang Minangkabau melakukan yang namanya musyawarah untuk mufakat biasanya dilakukan di rumah gadang atau di balai kerapatan adat. Istilah rapat ini dikenal dengan bulek aia dek pamuluah, bulek kato dek mufakaik, artinya sebuah keputusan itu baru sah jika dicarikan jalan keluarnya dengan jalan bermufakat. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Melihat Giran yang sedang mengobati luka di kaki Sani, warga mempunyai prasangka yang buruk terhadap keduanya. Sani dan Giran digiring warga untuk diadili, karena dianggap telah melakukan perbuatan yang memalukan dan melanggar etika adat.
Sidang adat memutuskan bahwa mereka bersalah dan sebagai hukumannya keduanya harus dibuang ke Kawah Gunung Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi penduduk.
            Kutipan di atas menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Sani dan Giran dianggap perbuatan yang melanggar etika adat walaupun perbuatan itu tidak benar-benar mereka lakukan. Sebab dilihat banyak orang maka masalah tersebut menjadi besar sampai harus melakukan sidang adat. Sidang adat itu dilakukan untuk memutuskan hukuman apa yang harus mereka dapatkan karena telah melanggar etika adat, setelah dilakukan rapat maka disepakatilah hukuman untuk perbuatan mereka yaitu dibuang ke Kawah Gunung Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi penduduk. Orang Minangkabau dikenal beradat dan menjunjung tinggi adat tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka.

C. Penutup

1. Kesimpulan

Nilai-nilai pendidikan dalam cerita rakyat dibagi menjadi empat nilai, yaitu (1) nilai pendidikan religius dengan indikator sikap dan perilaku percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan, bersyukur, amanah, dan ikhlas. (2) Nilai pendidikan ketangguhan dengan indikator sikap dan perilaku disiplin, ulet, dan berani menanggung resiko. (3) Nilai-nilai pendidikan kepedulian dengan indikator sikap dan perilaku kasih sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli sosial, dan cinta keluarga. (4) Nilai-nilai pendidikan kejujuran dengan indikator sikap dan perilaku bertanggung jawab, memenuhi kewajiban, lapang dada, memegang janji, dan demokratis.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu, dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya, dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya.
Sastra lama disebut juga dengan sastra Melayu klasik atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Karya sastra Melayu klasik adalah jenis sastra yang berkembang pada masa masyarakat Melayu tradisional.

2. Implikasi

Kebudayaan dan pendidikan merupakan dua hal yang sama-sama merujuk pada manusia sebagai objek sekaligus subjek. Dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai universal dan luhur sebab kebudayaan dihasilkan dari kecerdasan dan kearifan masyaraka dalam merespon kehidupannya. Sebaliknya, pendidikan harus merespon dimensi-dimensi kebudayaan masyarakat untuk menciptakan manusia yang cerdas secara intelektual sekaligus juga cerdas secara emosional dan spritual berbasis budaya.
Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal institusional. Pendidikan merupakan faktor dominan yang mengakibatkan terjadinya beragam perubahan dalam berbagai bidang, baik sosial, politik, ekonomi, maupun agama. Namun disamping itu pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk memelihara dan melestarikan budaya. Proses pendidikan inilah menjadi wahana utama untuk pengenalan dan pemahaman beragam budaya yang akan diadopsi oleh siswa untuk kemudian akan diinternalisasi dalam kehidupannya. Pendidikan melalui proses pembelajaran dapat mengintegrasikan unsur-unsur budaya yang ada di lingkungan sekitar di mana proses pendidikan itu berlangsung sebagai bagian dari upaya mengembangkan budaya yang telah ada menjadi lebih bermakna bagi kehidupan siswa.
Pengajaran sastra lama atau sastra Melayu klasik di sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra sekaligus mengenal budaya daerah sebagai bukti kecintaan anak pada nilai luhur bangsa. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas mempertajam perasaan dan kepekaan terhadap nilai-nilai yang ada di dalam kebudayaannya. Pembelajaran mengapresiasi sastra lama akan memperkuat visi kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai masyarakat yang siap menghadapi tantangan-tantangan zaman dalam lingkungan sosial dan budayanya. Hal ini secara nyata dapat diwujudkan pada pembelajaran di sekolah dalam kurikulum berkarakter, selain itu dengan daya kreatif seorang guru mereka dapat mengeplorasi dan mentransformasi bentuk-bentuk kebudayaan daerahnya menjadi bentuk yang lain. Seperti tradisi lisan ke dalam bentuk drama yang dapat dimanfaatka dalam proses pembelajaran.

3. Saran

Fenomena yang ada dalam pembelajaran di sekolah saat khususnya dalam mempelajari apresiasi sastra lama belum mencapai hasil yang diharapkan sebagaimana yang dituntut di dalam silabus. Mempelajari nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal dalam teks sastra lama atau teks sastra Melayu klasik seorang guru terlebih dahulu harus memahami teks, ko-teks, dan konteks budaya dalam teks sastra lama yang akan ditransferkan ke peserta didiknya. Jika guru telah memahami maka tujuan pembelajaran akan tercapai di mana peserta didik akan memahami teks, ko-teks, dan konteks budaya yang sedang dipelajarinya juga mempertinggi pengertian peserta didik tentang makna, fungsi, nilai, dan kearifan lokal yang terkandung dalam teks sastra lama yang dipelajari tersebut.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia terutama pembelajaran apresiasi sastra dalam menganalisis nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal dalam teks sastra lama atau teks sastra Melayu klasik setidaknya seorang guru harus memiliki dan menunjukan tiga landasan keilmuan sebagai berikut.
-            Landasan ilmu kebahasaan, artinya aspek-aspek kebahasaan dalam proses pembelajaran memberikan ruang diskusi dan dialog aspek kebahasaan seperti frasa, kata, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana.
-            Landasan ilmu sastra, artinya aspek-aspek sastra dalam proses pembelajaran memfasilitasi keperluan peserta didik untuk belajar ilmu sastra yaitu teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra, dan ekspresi sastra.
-            Landasan ilmu budaya (tradisi), artinya dalam pembelajaran mengintegrasikan karakter budaya dan kearifan lokal yang bernilai positif.

Daftar Pustaka

Asmani, Jamal Ma’aur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press.
Djamaris, Edwar. 1993. Sastra Daerah di Sumatera: Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Djamaris, Edwar. 2001. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Grafiti Pers.
Prayitno dan Afriva. 2009. Pendidikan Dasar Teori dan Praktis. Padang: UNP Press.
Sjarkawi. 2011. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
Yunus, Rasid. 2014. Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Genius) sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish. ISBN 978-602-280-315-7.

Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana.

No comments:

Puisi Fenomenal dalam Dunia Sastra "Hujan Bulan Juni" Karya Sapardi Djoko Damono

Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono Identitas Buku Judul: Hujan Bulan Juni Penulis:  Sapardi Djoko Damono ...