KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya. Dengan rahmat dan karunia-Nya tersebut, penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir
tentang Merancang Pembelajaran Menggali
Nilai-nilai Pendidikan dan Kearifan Lokal dalam Teks Sastra Lama.
Tugas akhir ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sastra Terapan.
Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis dibimbing
dan diberi motivasi oleh berbagai pihak, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Hasanuddin WS,
M.Hum. dan Dr. Yeni Hayati, M.Hum. selaku dosen pembimbing mata kuliah Sastra
Terapan yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan.
Penulis mengharapkan
adanya penilaian dalam penyusunan tugas akhir ini.
Oleh sebab itu,
kritik dan saran yang sifatnya membangun diperlukan untuk dapat melengkapi dan
menyempurnakan tugas akhir ini,
semoga hasil tugas akhir ini
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya.
Padang,
April 2016
Penulis
MERANCANG PEMBELAJARAN MENGGALI NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN KEARIFAN LOKAL DALAM TEKS
SASTRA LAMA
A. Pendahuluan
Pendidikan
bagi umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang
hayat. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang
sejalan dengan aspirasi atau cita-cita untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut
konsep pandangan hidup mereka. Untuk memajukan kehidupan manusia, pendidikan
menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara sistematis dan konsisten,
berdasarkan berbagai pandangan teoretikal dan praktik sepanjang waktu sesuai
dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri.
Masalah
pendidikan merupakan tema yang menarik untuk dibicarakan dalam karya sastra.
Sastra dan pendidikan memiliki keterkaitan yang erat, karena sastra dan
pendidikan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan kemanusiaan. Manusia yang
memiliki wawasan yang kuat adalah manusia yang memperleh pendidikan, baik dari
keluarga, sekolah, masyarakat ataupun lembaga pendidikan lainnya.
Karya
sastra merupakan suatu wujud imajinatif yang menggambarkan masyarakat dari
segala segi kehidupan sebagai titik tolok proses kreativitas pengarang. Sastra
juga mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh
pengarang tentang kehidupan manusia yang diungkapkan melalui bahasa. Untuk itu,
dalam menciptakan karya sastra dituntut adanya suatu kreativitas yang tinggi
dalam mengemukakan ide, gagasan, pandangan, dan pemahaman. Kreativitas itu
tidak hanya menghasilkan dan melahirkan pengalaman batin, seperti halnya
mewujudkan daya imajinasi pencipta dalam karyanya. Seorang pengarang harus bisa
menentukan nilai yang terbaik dari pengalaman batin tersebut berdasarkan
pengalaman hidup manusia.
Karya sastra ada karena adanya dorongan dasar dari
manusia itu sendiri untuk mengungkapkan dirinya. Sehingga menaruh minat
terhadap dunia realita yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman.
Dalam kamus istilah sastra, Sudjiman (1990:71) mengatakan bahwa sastra adalah
karya lisan atau lukisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorisinalan, keartistikan, keindahan, dalam isi dan pengungkapannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibahas tentang
pengertian dan karakteristik nilai-nilai
pendidikan, pengertian dan karakteristik kearifan lokal, hakikat teks sastra
lama, serta implementasi nilai-nilai pendidikan dan kearifan
lokal dalam pembelajaran apresiasi sastra.
1.
Nilai-nilai Pendidikan
Nilai berasal dari kata value dalam bahasa inggris yang
disinonimkan dengan kata nilai dalam bahasa Indonesia, beras. Secara sederhana,
nilai merupakan rujukan keyakinan yang berharga untuk menentukan pilihan
bertindak dalam kehidupan (Abdurahman, 2011:31). Nilai mencakup
konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk. Karena sistem nilai bersifat abstrak, maka perlu diketengahkan beberapa
indikator nilai-nilai sebagai berikut, (1) konsepsi mengenai hakikat hidup, (2)
konsepsi mengenai hakikat karya manusia, (3) konsepsi mengenai hakikat waktu,
(4) konsepsi mengenai hakikat lingkungan dan alam, dan (5) konsepsi mengenai
hakikat lingkungan sosial.
Koentjaraningrat (2009:26)
menyatakan bahwa istilah nilai setara dengan mentalitas. Mentalitas adalah
keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam
menanggapi lingkungannya. Nilai berhubungan dengan sifat-sifat yang penting
bagi kemanusiaan berupa ide-ide atau gagasan yang mendasari pola-pola budaya
masyarakat dalam menanggapi unsur-unsur jasmaniah dan rohaniah. Menurut
Asmani, (2011:64-65) ada empat basis nilai pendidikan karakter, yaitu, (1)
pendidikan karakter berbasis nilai religius; (2) pendidikan karakter berbasis
nilai budaya; (3) pendidikan karakter berbasis lingkungan; (4) pendidikan
karakter berbasis potensi diri. Berdasarkan kajian berbagai nilai agama, norma
sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, maka
telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai
utama yang juga dikemukakan oleh Asmani, (2011:36-41) yaitu, perilaku manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan. Selanjutnya
Prayitno dan Afriva (2009:130-139) merumuskan lima fokus nilai-nilai pendidikan
karakter yang bersumber dari pengembangan komponen/unsur-unsur harkat dan martabat manusia (HMM) dan
nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, yaitu: (1)
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) kejujuran; (3)
kecerdasan; (4) ketangguhan; (5) kepedulian. Kemudian Prayitno dan Afriva,
merinci nilai-nilai tersebut dalam bentuk konsep yang lebih spesifik dan lebih
konkret dalam penampilan perilaku.
Selanjutnya
Zubaedi (2011:191), menjelaskan bahwa pendidikan karakter pada dasarnya
mencakup pengembangan substansi, proses, dan suasana atau lingkungan yang
menggugah, mendorong, dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan
baik dalam kehidupan sehari-hari.kebiasaan ini timbul dan berkembang dengan
didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan, dan sikap orang yang
bersangkutan. Dari kutipan para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai pendidikan
adalah proses merubah perilaku individu ke arah kematangan dan kedewasaan.
Pendidikan adalah proses membentuk pikiran, membangun prilaku dan sikap,
memuliakan kemanusiaan manusia ke arah kedewasaan, kematangan, serta perilaku
yang diharapkan sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Nilai-nilai yang harus ada dalam
pendidikan menurut Sjarkawi (2011:34), adalah: (1) amal saleh, (2) amanah, (3)
antisipatif, (4) baik sangka, (5) bekerja keras, (6) beradab, (7) berani
berbuat benar, (8) berani memikul resiko, (9) berdisiplin, (10) berhati lapang,
(11) berhati lembut, (12) beriman dan bertakwa, (13) berinisiatif, (14)
berkemauan keras, (15) berkepribadian, (16) berpikir jauh ke depan, (17)
bersahaja, (18) Nilai-nilai pendidikan di Indonesia bersumber dari agama,
Pancasila, dan budaya, serta tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius.
(2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri,
(8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah
air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat dan komunikatif, (14) cinta
damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung
jawab.
Untuk kepentingan dalam
menganalisis karya sastra berupa teks sastra lama dari beberapa pendapat para
ahli di atas maka dapat dirumuskan
nilai-nilai pendidikan tersebut dirangkum menjadi empat nilai, yaitu (1)
nilai pendidikan religius dengan indikator sikap dan perilaku percaya pada
Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan,
bersyukur, amanah, dan ikhlas. (2) Nilai pendidikan ketangguhan dengan
indikator sikap dan perilaku disiplin, ulet, dan berani menanggung resiko. (3)
Nilai-nilai pendidikan kepedulian dengan indikator sikap dan perilaku kasih
sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli sosial, dan cinta
keluarga. (4) Nilai-nilai pendidikan kejujuran dengan indikator sikap dan
perilaku bertanggung jawab, memenuhi kewajiban, lapang dada, memegang janji,
dan demokratis.
2.
Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan istilah yang diperkenalkan oleh
Wales. Menurut Wales (dalamYunus, 2014:36) kearifan lokal yaitu kemampuan
kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua
kebudayaan itu berhubungan. Menurut Yunus (2014:37) kearifan lokal merupakan
budaya yang dimiliki oleh masyarakat
tertentu dan di tempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan
dalam menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung
nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai sarana pembangun karakter bangsa.
Dapat disimpulkan dari pendapat di atas, kearifan lokal merupakan suatu
kebiasaan yang menjadikan tradisi masyarakat secara turun menurun oleh adat
daerah diberbagai wilayah. Dilihat dari struktur dan tingkatannya Yunus (2014:
37) menjelaskan kearifan lokal berada pada tingkat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di
Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat majemuk dalam struktur
sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada
karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain,
karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan,
di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi
memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri, dan merajut kesejehteraan
kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal
sendiri, seperti etnis Minang, Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, dan Nias. Setiap
etnis memiliki budaya dan pedoman hidup masing-masing yang khas sesuai dengan
keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan
berasama. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat,
nilai-nilai budaya, dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan
untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan
mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan
masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan
sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan
visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu, dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah merupakan potensi sosial
yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing
daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas
budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan
intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke
arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan
nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh.
Minangkabau merupakan daerah yang memiliki khasanah
budaya yang elok baik itu berasal
dari kesenian, aktivitas sosial budaya, tata interaksi antara sesama, maupun
peninggalan sejarahnya semua tumbuh dan berkembang dari generasi kegenerasi.
Mungkin banyak dari generasi muda sekarang ini tidak mengetahui tentang
kearifan lokal apa yang dimiliki sekarang dan itu merupakan peninggalan nenek
moyang kita. Kenyataan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung
kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai
sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahteraan
bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam
memahami prinsip kearifan lokal.
Lingkup
budaya, dimensi fisik dari kearifan lokal meliputi aspek: (1) upacara adat, (2)
cagar budaya, (3) pariwisata alam, (4) transportasi tradisional, (5) permainan
tradisional, (6) prasarana budaya, (7) pakaian adat, (8) warisan budaya, (9)
museum, (10) lembaga budaya, (11) kesenian, (12) desa budaya, (13) kesenian dan
kerajinan, (14) cerita rakyat, (15) dolanan anak, dan, (16) wayang. Provinsi Sumatera Barat atau dikenal
dengan Ranah Minang, memiliki beberapa jenis kearifan lokal sosial budaya yang
berkaitan dengan seluruh sumber daya
yang ada. Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku etnis yang ada di
Indonesia memiliki sejumlah nilai-nilai moral sosial budaya yang terdapat dalam
wujud kebudayaan Minangkabau. Nilai moral sosial budaya Minagkabau merupakan
jati diri dari suku Minangkabau yang bersumber pada nilai, kepercayaan, dan
peninggalan sosial budaya Minangkabau yang dijadikan acuan dalam bertingkah
laku dalam kehidupan sehari-hari dalam bernagari.
Menurut Navis (1984) kebudayaan dan nilai-nilai
masyarakat Minangkabau merupakan wujud kreatifitas akal dan budi yang terpola
dan memuat sistem nilai dan norma moral sebagai bentuk etika yang saling
berkaitan dengan melekat pada lingkungan masyarakat Minangkabau yang diyakini
kebenarannya dan terimplementasi dalam sejarah kehidupan masyarakat
Minangkabau, sehingga sampai saat ini masih dianggap bernilai, berharga,
penting dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari baik
bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.
3.
Teks Sastra Lama atau Sastra Melayu Klasik
Sastra
lama disebut juga dengan sastra Melayu
klasik
atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang
sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Karya sastra
Melayu klasik adalah jenis sastra yang berkembang pada masa masyarakat Melayu
tradisional. Secara umum, bentuk karya sastra Melayu lama memiliki ciri-ciri
sebagai berikut.
a. Nama penciptanya tidak di ketahui (anonim). Karena
itu, karya sastra lama merupakan milik masyarakat itu sendiri.
b. Bersifat pralogis, mempunyai logika tersendiri yang
tidak sesuai dengan logika umum.
c. Berkembang secara statis (diam/tidak bergerak). Dalam bentuk prosa, misalnya selalu menggunakan kata-kata klise (kata yg
sering digunakan sehingga kehilangan keaslian maknanya), menurut empunya
cerita, konon dan sejenisnya. Di samping itu, sastra Melayu klasik di
penuhi pula dengan berbagai ungkapan, peribahasa,
dan aneka jenis majas.
d. Yang dikisahkan berupa kehidupan istana
(istanasentris), raja-raja, dewa-dewa, para pahlawan, atau tokoh-tokoh mulia
lainnya.
e. Disampaikan secaral lisan, dari mulut ke mulut. Karenanya, tidak mengherankan apabila cerita klasik memiliki banyak versi.
Setiap orang yang menyampaikan cerita itu dengan berbagai penambahan dan
perubahan di sana-sini sesuai dengan pemahaman orang yang bersangkutan terhadap
cerita itu.
Penggolongan sastra lama atau
sastra Melayu klasik dapat dikelompokan ke dalam dua bentuk. Pertama, berupa
prosa yang berbentuk hikayat. Hikayat
adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu
yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang
kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian
serta mukjizat tokoh utama. Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur
lara atau untuk membangkitkan semangat juang. Tema dominan dalam hikayat adalah
petualangan. Biasanya diakhir kisah, tokoh utamanya berhasil menjadi raja atau
orang yang mulia. Oleh karena itu alurnya pun cenderung monoton. Penokohan
dalam hikayat bersifat hitam putih artinya tokoh yang baik biasanya selalu baik
dari awal hingga akhir kisah ia pun dilengkapi dengan wajah dan tubuh yang
sempurna begitu pula sebaliknya tokoh jahat walaupun tidak semuanya berwajah
buruk.
Kedua, berupa puisi yang ragam
bahasanya terikat oleh rima an tata puitika yang lain (tipografi), gubahannya
dalam bahasa yang ditentukan dipilih dan ditata secara cermat. Serta puisi dapat
membangkitkan tanggapan khusus terutama penataan bunyi, irama, dan makna. Jenis-jenis puisi lama ini antara lain (1) mantra
adalah puisi lama yang mengandung kekuatan gaib yang biasanya digunakan oleh
pawang, (2) peribahasa adalah ungkapan ringkasan padat yang mengandung unsur
kebenaran, (3) pantun adalah puisi lama yang terdiri dari 4 baris. 2
barir pertama merupakan sampiran, dan 2 baris selanjurnya adalah isi, (4) syair
adalah bentuk puisi lama yang memiliki 4 baris yang berima sama, (5) gurindam
adalah bentuk puisi lama yang terdiri dari 2 larik. Larik pertama berisi sebab,
dan larik kedua berisi akibat, dan (6) talibun adalah puisi lama yang berlarik
lebih dari 4.
Selanjutnya sastra lama atau
sastra Melayu klasik juga dikelompokan berdasarkan jenis. Pertama, sastra
lisan menurut
Djamaris (1994:26), jenis sastra lisan Minangkabau antara lain kaba, pantun, pepatah-petitih, dan
mantra. Sastra tradisonal Minangkabau yang menonjol kaba, cerita prosa liris, sejenis pantun dalam sastra Sunda. Kaba
berbeda dengan hikayat dalam bahasa Melayu dari segi gaya bahasanya. Hikayat
ditulis dengan gaya bahasa prosa biasa, sedang kaba ditulis dengan gaya prosa liris.
Kedua, sastra tertulis berupa naskah ini merupakan tahap
kedua kehidupan sastra Minangkabau berupa naskah (tulisan tangan) dengan
menggunakan huruf Arab Melayu, kemudian dengan huruf Latin. Naskah sastra
Minangkabau ini sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden, dan London (Djamris, 1994:27). Ketiga, sastra tertulis berupa buku ini merupakan tahap
ketiga kehidupan sastra Minangkabau berupa buku cetakan. Karya sastra Minangkabau yang sudah dicetak dan diterbitkan ialah kaba.
B. Merancang Pembelajaran Menggali Nilai-nilai Pendidikan dan Kearifan Lokal dalam Teks Sastra
Lama
1.
Analisis Nilai-nilai Pendidikan dan Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Apresiasi
Sastra
Teks
sastra lama yang diambil
untuk dianalisis nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokalnya
di sini adalah teks sastra lama
berupa cerita rakyat yang berasal dari daerah Minangkabau. Cerita rakyat ini
berkisah tentang asal mula nama salah satu daerah di Sumatera Barat yaitu
Maninjau, Kabupaten Agam. Cerita rakyat itu berjudul Asal Mula Danau Maninjau, berikut kisahnya.
Di sebuah perkampungan di kaki
Gunung Tinjau, Sumatra Barat, hiduplah 10 orang bersaudara. Mereka terdiri dari
sembilan laki-laki dan satu anak perempuan. Ayah dan ibu mereka telah meninggal
dunia. Anak tertua bernama Kukuban. Sementara itu, si bungsu yang merupakan
satu-satunya perempuan, bernama Siti Rasani atau Sani. Karena jumlah laki-laki
bersaudara itu sembilan orang, penduduk sekitar sering menyebut mereka dengan
Bujang Sembilan.
Semenjak orangtua mereka
meninggal dunia, mereka diasuh oleh seorang paman, yaitu Datuk Limbatang yang
biasa mereka panggil Engku. Datuk Limbatang mempunyai seorang anak lelaki
bernama Giran.
Setelah menginjak dewasa, Giran
dan Sani saling jatuh cinta. Pada mulanya, mereka menyembunyikan hubungan
tersebut. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak baik, akhirnya mereka
mengungkapkan hubungan ini kepada keluarga masing masing. Kedua keluarga itu
menyambut hubungan Sani dan Gani dengan suka cita.
Saat panen usai, warga di
perkampungan itu melangsungkan perayaan adat berupa silat. Semua bersemangat
mengikuti upacara ini, termasuk Kukuban dan Giran.
Kukuban dengan keahlian silatnya
berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Hal yang sama terjadi pada Giran.
Akhirnya, keduanya bertemu pada pertandingan penentuan.
Ketika pertarungan berlangsung,
keduanya mengeluarkah keahlian masing-masing. Kukuban sangat tajam melancarkan
serangan-serangan kepada Giran. Suatu saat, ia melancarkan tendangan ke arah
Giran, tetapi tendangan tersebut ditangkis dengan keras oleh Giran. Semua
penonton tercengang ketika tiba-tiba Kukuban berteriak kesakitan. Ternyata,
kaki Kukuban patah. la dinyatakan kalah dalam pertarungan.
Semenjak kejadian itu, Kukuban
menyimpan dendam pada Giran. la tidak terima dikalahkan oleh Giran dan
menyebabkan kakinya patah.
Suatu hari, Datuk Limbatang dan
keluarganya datang ke rumah Bujang Sembilan untuk membicarakan kelanjutan
hubungan Sani dan Giran. Di luar dugaan, Kukuban menentang hubungan adiknya
dengan Giran. Terjadilah perselisihan antara Kukuban dan Datuk Limbatang.
“Sampai kapan pun aku tidak akan
menyetujui pernikahan Sani dengan anak Engku. Giran sudah mempermalukanku di
depan penduduk dan ia juga mematahkan kakiku!” ujar Kukuban. Usaha Datuk
Limbatang membujuk Kukuban agar memberikan persetujuannya tidak membuahkan
hasil.
“Anakku, Kukuban, mengapa engkau
membenci Giran? Semua menyaksikan bahwa kaulah yang menyerang Giran, ketika
Giran terpojok ia menangkis tendanganmu sehingga kakimu patah. Giran tidak
bersalah. Engku bukan membela anak Engku, tetapi memang begitulah kejadian yang
sebenarnya.”
Namun, semua sia-sia. Kukuban
tetap menolak memberikan restunya. Sani dan Giran tidak bisa menikah.
Betapa sedihnya hati Sani dan
Giran. Giran Ialu mengajak Sani untuk bertemu di suatu tempat membicarakan
masalah ini. Keesokan harinya, mereka bertemu di sebuah ladang di pinggir
sungai.
“Apa yang harus kita perbuat,
Dik. Abangmu sangat tidak merestui hubungan kita,” keluh Giran.
“Entahlah, Bang. Semua keputusan
ada di tangan Bang Kukuban. Dia benci, sekali kepada Abang;” isak Sani. Dengan
perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba, sarung yang
dikenakannya tersangkut di sebuah ranting berduri dan melukai kakinya hingga
berdarah. Sani merintih kesakitan “Adik, kamu terluka. Abang akan bantu
mengobatinya,” ujar Giran. Lalu, Giran mengambil daun-daun obat di sekitarnya
dan mengoleskan ramuan yang dibuatnya ke bagian luka kekasihnya.
Mereka berdua tidak menyadari
kalau mereka sedang diawasi. Ternyata, Kukuban telah memanggil warga untuk
mengawasi Sani clan Giran.
Melihat Giran yang sedang
mengobati luka di kaki Sani, warga mempunyai prasangka yang buruk terhadap
keduanya. Sani dan Giran digiring warga untuk diadili, karena dianggap telah
melakukan perbuatan yang memalukan dan melanggar etika adat.
Sidang adat memutuskan bahwa
mereka bersalah dan sebagai hukumannya keduanya harus dibuang ke Kawah Gunung
Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi penduduk.
Sani dan Giran digiring menuju
puncak Gunung Tinjau. Mata mareka ditutup dengan kain hitam. Giran dan Sani masih
tetap berusaha meyakinkan penduduk bahwa mereka tidak bersalah.
Di puncak Gunung Tinjau, Giran
menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ya Tuhan. Jika kami tidak
bersalah, Ietuskanlah gunung ini sehingga menjadi pelajaran bagi mereka semua,”
doa Giran sambil berurai air mata. Lalu, Sani dan Giran meloncat ke dalam kawah
yang sangat panas.
Bujang Sembilan dan para penduduk
merasa cemas dengan doa yang dipanjatkan Giran. Jika ternyata mereka salah
menuduh, mereka akan hancur.
Tidak lama kemudian, terjadilah
letusan dahsyat yang menyebabkan gempa hebat yang menghancurkan Gunung Tinjau
dan pemukiman penduduk yang berada di sekitarnya.
Tidak ada satu pun yang selamat. Letusan tersebut
menyebabkan terjadinya sebuah kawah yang semakin lama semakin besar, sehingga
menyerupai sebuah danau. Danau tersebut disebut dengan Danau Maninjau.
Keterampilan mengapresiasi menumbuhkan pengertian penghargaan, kepekaan pikiran kritis,
dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Kegiatan
mengapresiasikan karya sastra berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam
perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat,
budaya, dan lingkungan hidup.
Siswa dalam mempelajari teks sastra lama terutama cerita
rakyat dapat memulainya denga membaca sekilas. Setelah itu barulah guru bisa
memberikan ransangan kepada siswa tentang pelajaran apa yang mereka dapatkan
dengan membaca sekilas teks sastra lama tersebut. Kegiatan selanjutnya dalam
mengapresiasi karya sastra berupa teks sastra lama, dilakukan dengan
langkah-langkah berikut ini.
-
Mengamati
Guru
membacakan cerita rakyat Asal Mula Danau
Maninjau dan siswa menyimak serta memahami cerita rakyat yang dibacakan
tersebut.
-
Menanyakan
Guru menanyakan tentang cerita rakyat.
Guru menanyakan tentang cerita rakyat yang dibacakan tersebut.
Guru menanyakan tentang pemahaman
siswa terkait dengan nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut.
-
Mengeksplorasi
Siswa mendiskusikan nilai-nilai
pendidikan serta kearifan lokal apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut.
-
Mengasosiasikan
Siswa menganalisis dan menuliskan
nilai-nilai pendidikan serta kearifan lokal yang terdapat di dalam cerita rakyat tersebut.
-
Mengomunikasikan
Siswa mempresentasikan nilai-nilai
pendidikan serta kearifan lokal yang terdapat di dalam cerita rakyat
di
depan kelas.
a. Analisis Nilai Pendidikan dalam
Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau
Format 1. Analisis Data Nilai-nilai Pendidikan dalam
Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau
No
|
Indikator Nilai-nilai Pendidikan
|
Pertanyaan Pembantu
|
Temuan melalui Ucapan Tokoh, Tindakan Tokoh, dan
Paparan Narator
|
Kutipan
|
1.
2.
3.
4.
|
|
|
|
|
Tabel 1. Analisis Data Nilai-nilai Pendidikan dalam
Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau
No
|
Indikator Nilai-nilai Pendidikan
|
Pertanyaan Pembantu
|
Temuan melalui Ucapan Tokoh, Tindakan Tokoh, dan
Paparan Narator
|
Kutipan
|
1.
|
Nilai pendidikan religius
|
-
Apakah ada kata,
frasa, klausa, dan kalimat pada cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan
perilaku percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada perintah Tuhan,
menjauhi larangan Tuhan, bersyukur, amanah, dan ikhlas?
|
- Paparan narator, mengenai
tokoh Sani dan Giran yang saling mencintai, mulanya hubungan mereka disembunyikan
karena untuk menghindari hal-hal yang tidak baik maka mereka mengungkapkan
hubungan tersebut ke keluarga masing-masing. Sikap yang tokoh tunjukka di
dalam cerita berhubungan dengan indikator percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada
perintah Tuhan, menjauhi larangan Tuhan.
-
Ucapan tokoh, yang berhubungan dengan indikator percaya pada Tuhan Yang Maha
Esa, amanah, dan ikhlas dituturkan oleh tokoh Giran saat dituduh melakukan
perbuatan yang memalukan dan melanggar etika adat bersama tokoh Sani. Karena
kepercayaan akan adanya Tuhan atas perbuatan dan tuduhan yang tidak pernah
dia lakukan maka ia berdoa dan ikhlas menjalani hukuman itu.
|
- Setelah menginjak dewasa, Giran dan Sani saling
jatuh cinta. Pada mulanya, mereka menyembunyikan hubungan tersebut. Namun,
untuk menghindari hal-hal yang tidak baik, akhirnya mereka mengungkapkan
hubungan ini kepada keluarga masing-masing. Kedua keluarga itu menyambut
hubungan Sani dan Gani dengan suka cita.
- Sani dan Giran digiring menuju puncak Gunung
Tinjau. Mata mareka ditutup dengan kain hitam. Giran dan Sani masih tetap
berusaha meyakinkan penduduk bahwa mereka tidak bersalah.
Di puncak Gunung Tinjau, Giran
menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ya
Tuhan. Jika kami tidak bersalah, Ietuskanlah gunung ini sehingga menjadi
pelajaran bagi mereka semua,” doa Giran sambil berurai air mata. Lalu, Sani
dan Giran meloncat ke dalam kawah yang sangat panas.
|
2.
|
Nilai pendidikan ketangguhan
|
-
Apakah ada kata,
frasa, klausa, dan kalimat dalam cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan
perilaku disiplin, ulet dan berani menanggung resiko?
|
Paparan narator, berhubungan
dengan tokoh Kukuban dan Giran yang menggambarkan sikap dan perilaku disiplin, ulet dan berani
menanggung resiko ialah ketika acara perayaan adat berupa silat setelah musim
panen usai. Mereka sama-sama pemberani dengan mengalahkan lawan-lawan mereka,
kedisiplinan meraka terlihat ketika mereka harus bertempur saat final sebab
hanya mereka berdua pesilat diakhir acara yang tersisa. Namanya pertandingan
tentu harus ada kalah dan menang, bagaimana pun dekatnya hubungan mereka,
mereka harus tetap bertanding itu merupakan resiko yang harus mereka tanggung
demi menjunjung sportivitas dalam bertanding.
|
Saat panen usai, warga di
perkampungan itu melangsungkan perayaan adat berupa silat. Semua bersemangat
mengikuti upacara ini, termasuk Kukuban dan Giran.
Kukuban dengan keahlian
silatnya berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Hal yang sama terjadi pada
Giran. Akhirnya, keduanya bertemu pada pertandingan penentuan.
|
3.
|
Nilai-nilai pendidikan kepedulian
|
-
Apakah ada kata,
frasa, klausa, dan kalimat dalam cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan
perilaku kasih sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli
sosial, dan cinta keluarga?
|
- Paparan narator yang
berhubungan dengan kasih
sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli sosial, dan
cinta keluarga ini digambarkan oleh tokoh Datuk Limbatang di mana setelah
kedua orang tua Bujang Sembilan dan Sani meninggal kesepuluh kakak beradik
ini di pelihara oleh Datuk Limbatang yang merupakan Mamak atau Paman mereka
sendiri. Bukti kasih sayang, kepedulian serta cintanya Datuk Limbatang kepada
keluarganya.
-
Ucapan dan tindakan tokoh yang menggambarkan prilaku kasih sayang saat tokoh
Giran mengobati kaki tokoh Sani yang terluka.
|
Semenjak orangtua mereka
meninggal dunia, mereka diasuh oleh seorang paman, yaitu Datuk Limbatang yang
biasa mereka panggil Engku. Datuk Limbatang mempunyai seorang anak lelaki
bernama Giran.
“Entahlah, Bang. Semua
keputusan ada di tangan Bang Kukuban. Dia benci, sekali kepada Abang;” isak
Sani. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba,
sarung yang dikenakannya tersangkut di sebuah ranting berduri dan melukai
kakinya hingga berdarah. Sani merintih kesakitan “Adik, kamu terluka. Abang
akan bantu mengobatinya,” ujar Giran. Lalu, Giran mengambil daun-daun obat di
sekitarnya dan mengoleskan ramuan yang dibuatnya ke bagian luka kekasihnya.
|
4.
|
Nilai-nilai pendidikan kejujuran
|
-
Apakah ada kata,
frasa, klausa, dan kalimat dalam cerita rakyat yang berhubungan dengan indikator sikap dan
perilaku bertanggung jawab, memenuhi kewajiban, lapang dada, memegang janji,
dan demokratis?
|
- Paparan tokoh mengenai
kedatangan tokoh Datuk Limbatang yang datang ke rumah Bujang Sembilan untuk
membicarakan hubungan Giran dan Sani. Ini menggambarkan sikap dan perilaku bertanggung jawab, memenuhi
kewajiban, serta demokratis sebagai ayah dan mamak/paman untuk meminta
persetujuan Bujang Sembilan agar menyetujui hubungan Giran dengan Sani untuk
menikah.
-
Ucapan tokoh Datuk Limbatang, Giran, dan Sani yang menggambarkan sikap
berlapang dada terlihat saat Datuk Limbatang menjelaskan masalah pertengkaran
Giran dengan Kukuban. Betapa tenangnya Datuk Limbatang meminta persetujuan
dan menasehati Kukuban tersebut walau usahanya tidak dihargai dengan baik
oleh kemenakannya itu. Selanjutnya kelapangan hati Giran dan Sani juga
terlihat saat menerima tuduhan yang diberikan kepada mereka serta dibuang ke
Kawah Gunung Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi orang banyak.
|
Suatu hari, Datuk Limbatang dan keluarganya datang ke rumah Bujang
Sembilan untuk membicarakan kelanjutan hubungan Sani dan Giran. Di luar
dugaan, Kukuban menentang hubungan adiknya dengan Giran. Terjadilah
perselisihan antara Kukuban dan Datuk Limbatang.
“Anakku, Kukuban, mengapa
engkau membenci Giran? Semua menyaksikan bahwa kaulah yang menyerang Giran,
ketika Giran terpojok ia menangkis tendanganmu sehingga kakimu patah. Giran
tidak bersalah. Engku bukan membela anak Engku, tetapi memang begitulah
kejadian yang sebenarnya.”
Namun, semua sia-sia. Kukuban
tetap menolak memberikan restunya. Sani dan Giran tidak bisa menikah.
Sani dan Giran digiring menuju
puncak Gunung Tinjau. Mata mareka ditutup dengan kain hitam. Giran dan Sani
masih tetap berusaha meyakinkan penduduk bahwa mereka tidak bersalah.
Di puncak Gunung Tinjau, Giran
menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
|
b. Analisis Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Asal Mula Danau Maninjau
Kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dan
ditempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi arus
globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang dapat
dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa. Kearifan lokal merupakan perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang
dimanifestasikan melalui pandangan hidup, pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya. Dalam pengertian inilah kearifan
lokal sebagai jawaban untuk bertahan dan menumbuhkan secara berkelanjutan
kebudayaan yang didukungnya.
Masing-masing etnis di Indonesia pasti memiliki kearifan lokal tersendiri
yang unik, menarik, dan berbeda dengan daerah lain. Salah satunya etnis
Minangkabau memiliki banyak kearifan lokal, kearifan lokal tersebut dapat
terwujud ke dalam berbagai bentuk, mulai dari kebiasaan-kebiasaan, aturan,
nilai-nilai, tradisi, bahkan agama yang dianut masyarakat setempat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal lainnya dalam masyarakat Minangkabau misalnya
adalah norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan
khusus.
Cerita rakyat Asal Mula Danau
Maninjau, memiliki
unsur
kearifan lokal berupa hubungan
kekeluargaan yang dijunjung tinggi orang Minangkabau yang tidak boleh terputus.
Dalam cerita mengisahkan bagaimana hubungan antara mamak dengan kemenakan,
mamak merupakan saudara laki-laki oleh ibu yang mempunyai tanggung jawab besar
terhadap kemenakan dan tanah pusaka orang tuanya walaupun ia telah berkeluarga.
Sebab kedudukan ia di rumah istrinya hanya sebagai tamu atau dikenal dengan
sebutan sumando. Hal ini terdapat
pada kutipan berikut.
Semenjak
orang tua mereka meninggal dunia, mereka diasuh oleh seorang paman, yaitu Datuk
Limbatang yang biasa mereka panggil Engku. Datuk Limbatang mempunyai seorang
anak lelaki bernama Giran.
Pada kutipan di atas jelas bahwa kedudukan seorang
mamak yang harus memelihara kemenakannya setelah saudara perempuannya meninggal
dunia. Berhubungan
dengan itu falsafah Minang mengatakan anak
di pangku, kamanakan dibimbiang (anak dipangku, kemenakan dibimbing). Hal
ini maknanya seorang lelaki Minang bertanggung jawab terhadap anak sebagai
darah dagingnya, membesarkan dengan harta pencaharian sendiri dan kemenakan
dibimbing dengan harta pusaka.
Kearifan lokal tentang bagaimana kebiasaan atau tradisi orang Minangkabau
setelah musim panen selesai yaitu dengan melakukan perayaan adat berupa silat.
Perayaan ini dilakukan sebelum masyarakat turun lagi ke sawah untuk bercocok
tanam. Pada zaman dahulu ini merupakan acara akbar yang ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh masyarakat pada saat itu. Penjelasan ini pada kutipan
berikut.
Saat panen usai, warga di
perkampungan itu melangsungkan perayaan adat berupa silat. Semua bersemangat
mengikuti upacara ini, termasuk Kukuban dan Giran.
Kutipan di atas memaparkan bagaimana antusias semua masyarakat menyambut
acara perayaan adat tersebut. Di sisi lain dari perayaan itu, terlihat juga
bagaimana etnis Minang menjunjung tinggi sportivitas dalam sebuah pertandingan.
Peraturan dalam sebuah pertandingan harus ada yang kalah dan menang. Peraturan
ini berlaku bagi semua orang yang mengikuti pertandingan walaupun yang akan
bertarung tersebut orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Di akhir
pertandingan pemenang akan digelari seorang pendekar, bagi orang Minangkabau
pemenang itu diberi gelar dengan sebutan pandeka.
Hal ini tergambar pada kutipan berikut.
Kukuban dengan keahlian silatnya
berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Hal yang sama terjadi pada Giran.
Akhirnya, keduanya bertemu pada pertandingan penentuan.
Ketika pertarungan berlangsung,
keduanya mengeluarkah keahlian masing-masing. Kukuban sangat tajam melancarkan
serangan-serangan kepada Giran. Suatu saat, ia melancarkan tendangan ke arah
Giran, tetapi tendangan tersebut ditangkis dengan keras oleh Giran. Semua
penonton tercengang ketika tiba-tiba Kukuban berteriak kesakitan. Ternyata,
kaki Kukuban patah. la dinyatakan kalah dalam pertarungan.
Kearifan lokal yang
berbentuk adat-istiadat etnis Minang sebelum melakukan acara perkawinan. Adat
itu disebut dengan istilah maminang maksudnya
pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk melamar atau meminta seorang
anak gadis yang disukai untuk menjadi istrinya. Hal ini terdapat pada kutipan
berikut.
Suatu hari, Datuk Limbatang dan
keluarganya datang ke rumah Bujang Sembilan untuk membicarakan kelanjutan
hubungan Sani dan Giran. Di luar dugaan, Kukuban menentang hubungan adiknya
dengan Giran. Terjadilah perselisihan antara Kukuban dan Datuk Limbatang.
“Anakku, Kukuban, mengapa engkau
membenci Giran? Semua menyaksikan bahwa kaulah yang menyerang Giran, ketika
Giran terpojok ia menangkis tendanganmu sehingga kakimu patah. Giran tidak
bersalah. Engku bukan membela anak Engku, tetapi memang begitulah kejadian yang
sebenarnya.”
Namun, semua sia-sia. Kukuban
tetap menolak memberikan restunya. Sani dan Giran tidak bisa menikah.
Kutipan di atas
menjelaskan tentang adat Minang dalam hal aturan untuk melakukan perkawinan.
Ayah dan keluarga Giran datang ke rumah Bujang Sembilan untuk melamar Sani agar
bisa menjadi istrinya Giran. Akan tetapi permohonan itu ditolak oleh Bujang
Sembilan. Di sisi lain terlihat juga kearifan seorang ayah sekaligus berperan
sebagai mamak di rumah tersebut dalam meredam emosi kemenakannya sendiri. Datuk
Limbatang dalam posisi yang sulit menghadapi kerasnya kemenakan yang dibesarkan
serta dididiknya sendiri. Dalam adat Minangkabau perkawinan antara anak dan
kemenakan itu dianggap baik. Pada umumnya orang Minangkabau pada
masa dahulu mencari calon menantu mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau
syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang berlaku waktu itu dengan kata lain
pihak laki-laki dan perempuan yang akan menikah harus sederajat tingkat
kebangsawanannya. Ciri khas pada masa dahulu calon suami atau istri mencari
hubungan keluarga terdekat, seperti pulang
ke mamak atau pulang ke bako. Pulang
ke mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang ke bako ialah mengawini
kemenakan ayah.
Kearifan lokal masyarakat Minangkabau yang lain terlihat
dengan cara mereka mengambil keputusan dalam suatu perkara. Dalam memutuskan
sebuah perkara orang Minangkabau melakukan yang namanya musyawarah untuk
mufakat biasanya dilakukan di rumah gadang atau di balai kerapatan adat.
Istilah rapat ini dikenal dengan bulek
aia dek pamuluah, bulek kato dek mufakaik, artinya sebuah keputusan itu
baru sah jika dicarikan jalan keluarnya dengan jalan bermufakat. Hal ini
terlihat pada kutipan berikut.
Melihat Giran yang sedang
mengobati luka di kaki Sani, warga mempunyai prasangka yang buruk terhadap
keduanya. Sani dan Giran digiring warga untuk diadili, karena dianggap telah
melakukan perbuatan yang memalukan dan melanggar etika adat.
Sidang adat memutuskan bahwa
mereka bersalah dan sebagai hukumannya keduanya harus dibuang ke Kawah Gunung
Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi penduduk.
Kutipan di atas
menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Sani dan Giran dianggap perbuatan
yang melanggar etika adat walaupun perbuatan itu tidak benar-benar mereka
lakukan. Sebab dilihat banyak orang maka masalah tersebut menjadi besar sampai
harus melakukan sidang adat. Sidang adat itu dilakukan untuk memutuskan hukuman
apa yang harus mereka dapatkan karena telah melanggar etika adat, setelah
dilakukan rapat maka disepakatilah hukuman untuk perbuatan mereka yaitu dibuang
ke Kawah Gunung Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi penduduk. Orang
Minangkabau dikenal beradat dan menjunjung tinggi adat tersebut dalam kehidupan
sehari-hari mereka.
C. Penutup
1.
Kesimpulan
Nilai-nilai pendidikan dalam cerita rakyat dibagi menjadi empat
nilai, yaitu (1) nilai pendidikan religius dengan indikator sikap dan perilaku
percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada perintah Tuhan, menjauhi
larangan Tuhan, bersyukur, amanah, dan ikhlas. (2) Nilai pendidikan ketangguhan
dengan indikator sikap dan perilaku disiplin, ulet, dan berani menanggung
resiko. (3) Nilai-nilai pendidikan kepedulian dengan indikator sikap dan
perilaku kasih sayang, sopan santun, pemaaf, bersahabat/komunikatif, peduli
sosial, dan cinta keluarga. (4) Nilai-nilai pendidikan kejujuran dengan
indikator sikap dan perilaku bertanggung jawab, memenuhi kewajiban, lapang
dada, memegang janji, dan demokratis.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan
mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan
masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan
sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan
visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu, dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah merupakan potensi sosial yang dapat membentuk
karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan
bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di
samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai
bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan
teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh
globalisasi, warisan budaya, dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat
tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya.
Sastra lama disebut
juga dengan sastra Melayu klasik
atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang
sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Karya sastra
Melayu klasik adalah jenis sastra yang berkembang pada masa masyarakat Melayu
tradisional.
2.
Implikasi
Kebudayaan dan pendidikan merupakan dua hal yang sama-sama merujuk pada
manusia sebagai objek sekaligus subjek. Dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai
universal dan luhur sebab kebudayaan dihasilkan dari kecerdasan dan kearifan
masyaraka dalam merespon kehidupannya. Sebaliknya, pendidikan harus merespon
dimensi-dimensi kebudayaan masyarakat untuk menciptakan manusia yang cerdas
secara intelektual sekaligus juga cerdas secara emosional dan spritual berbasis
budaya.
Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal
institusional. Pendidikan merupakan faktor dominan yang mengakibatkan
terjadinya beragam perubahan dalam berbagai bidang, baik sosial, politik,
ekonomi, maupun agama. Namun disamping itu pada saat bersamaan, pendidikan juga
merupakan alat untuk memelihara dan melestarikan budaya. Proses pendidikan
inilah menjadi wahana utama untuk pengenalan dan pemahaman beragam budaya yang
akan diadopsi oleh siswa untuk kemudian akan diinternalisasi dalam
kehidupannya. Pendidikan melalui proses pembelajaran dapat mengintegrasikan
unsur-unsur budaya yang ada di lingkungan sekitar di mana proses pendidikan itu
berlangsung sebagai bagian dari upaya mengembangkan budaya yang telah ada
menjadi lebih bermakna bagi kehidupan siswa.
Pengajaran sastra lama atau sastra Melayu klasik di sekolah dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra sekaligus
mengenal budaya daerah sebagai bukti kecintaan anak pada nilai luhur bangsa.
Hal ini dikaitkan dengan aktivitas mempertajam perasaan dan kepekaan terhadap
nilai-nilai yang ada di dalam kebudayaannya. Pembelajaran mengapresiasi sastra
lama akan memperkuat visi kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai
masyarakat yang siap menghadapi tantangan-tantangan zaman dalam lingkungan
sosial dan budayanya. Hal ini secara nyata dapat diwujudkan pada pembelajaran
di sekolah dalam kurikulum berkarakter, selain itu dengan daya kreatif seorang
guru mereka dapat mengeplorasi dan mentransformasi bentuk-bentuk kebudayaan
daerahnya menjadi bentuk yang lain. Seperti tradisi lisan ke dalam bentuk drama
yang dapat dimanfaatka dalam proses pembelajaran.
3.
Saran
Fenomena yang ada dalam pembelajaran di sekolah saat khususnya dalam
mempelajari apresiasi sastra lama belum mencapai hasil yang diharapkan
sebagaimana yang dituntut di dalam silabus. Mempelajari nilai-nilai pendidikan
dan kearifan lokal dalam teks sastra lama atau teks sastra Melayu klasik
seorang guru terlebih dahulu harus memahami teks, ko-teks, dan konteks budaya
dalam teks sastra lama yang akan ditransferkan ke peserta didiknya. Jika guru
telah memahami maka tujuan pembelajaran akan tercapai di mana peserta didik
akan memahami teks, ko-teks, dan konteks budaya yang sedang dipelajarinya juga
mempertinggi pengertian peserta didik tentang makna, fungsi, nilai, dan
kearifan lokal yang terkandung dalam teks sastra lama yang dipelajari tersebut.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia terutama pembelajaran apresiasi
sastra dalam menganalisis nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal dalam teks
sastra lama atau teks sastra Melayu klasik setidaknya seorang guru harus
memiliki dan menunjukan tiga landasan keilmuan sebagai berikut.
-
Landasan
ilmu kebahasaan, artinya aspek-aspek kebahasaan dalam proses pembelajaran
memberikan ruang diskusi dan dialog aspek kebahasaan seperti frasa, kata,
klausa, kalimat, paragraf, dan wacana.
-
Landasan
ilmu sastra, artinya aspek-aspek sastra dalam proses pembelajaran memfasilitasi
keperluan peserta didik untuk belajar ilmu sastra yaitu teori sastra, kritik
sastra, sejarah sastra, dan ekspresi sastra.
-
Landasan
ilmu budaya (tradisi), artinya dalam pembelajaran mengintegrasikan karakter
budaya dan kearifan lokal yang bernilai positif.
Daftar Pustaka
Asmani, Jamal Ma’aur. 2011. Buku Panduan Internalisasi
Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press.
Djamaris,
Edwar. 1993. Sastra Daerah di Sumatera:
Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Djamaris, Edwar. 2001. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Grafiti Pers.
Prayitno dan Afriva. 2009. Pendidikan Dasar Teori dan
Praktis. Padang: UNP Press.
Sjarkawi. 2011. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta:
Bumi Aksara.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
Yunus, Rasid. 2014. Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local
Genius) sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris tentang Huyula.
Yogyakarta: Deepublish. ISBN 978-602-280-315-7.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta:
Kencana.
No comments:
Post a Comment