Saturday, October 29, 2011

Sejarah Perkembangan Ilmu Retorika

Sejarah Perkembangan Retorika
Uraian sistematis yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di pulau Sicilia. Di mana bersistem pemerintahan diktator dan pada saat itu diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Untuk mengambil haknya itu pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan, waktu itu tidak ada pengacara dan sertifikat tanah. Sering orang tidak berhasil karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang untuk mengambil haknya di pengadilan tersebut Corax menulis makalah retorika dengan teknik kemungkinan dan dia juga meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak betahan lama namun ajaran Corax tetap berpengaruh bahkan sampai pada zamannya Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
Inventio (penemuan). Pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat, dalam taap ini pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak. Aristoteles menyebutkan tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, harus sanggup menunjukkan kepada khlayak bahwa kita memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, harus menyentuh hati khalayak: perasaan, emosi, harapan, kebencian, dan kasih sayang mereka (pathos). Ketiga, meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini kita mendekati khalayak lewat otaknya.
Dispositio (penyusunan), pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan, pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pertanyaan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elucutio (gaya), pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Menggunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
Memoria (gaya), pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dan mengatur bahan-bahan pembicaraan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian), pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
1.        Retorika Zaman Romawi
Retorika pada zaman Romawi, tidak terlepas dari teori retorika Aristoteles yang sistematis dan komprehensif, retorika telah memperoleh dasar teoritis yang kokoh. Retorika pada zaman Romawi merupakan warisan retorika gaya Yunani, orang-orang Romawi hanya mengambil segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan hanya subur dengan sekolah-sekolah retorika tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung seperti Antonius, Crassus, Rufus, dan Hortensius.
2.        Retorika Abad Pertengahan
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan bagi retorika, karena ketika agama kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Orang kristen tersebut melarang mempelajari ilmu retorika yang dirumuskan oleh orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila ia memeluk agama kristen secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran.
Satu abad kemudian di Timur muncul peradaban baru yaitu seorang nabi ia seorang pembicara yang fasih dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat yaitu Nabi Muhammad saw, perkataannya menyebabkan pendengarnya berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Ada seorang ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya dengan Madinat al-Balaghah. Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum muslimin menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi retorika Yunani yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah, sayangnya sangat kurang sekali studi berkanaan dengan kontribusi balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
3.        Retorika Modern
Retorika modern pertama kali yang mengantarkan adalah Renaissance, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon. Retorika pada zaman ini mempunyai beberapa aliran yang dimana aliran-aliran itu sebagai berikut:
Ø  Aliran epistemologis, aliran ini lebih menekankan pada proses psikologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologi berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yang membahas proses mental). Para pemikir aliran ini antara lain:
·           George Campbell (1719-1796), menurutnya retorika harus diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menngerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
·           Richard Whately, menurutnya retorika berorientasi kepada khalayak (audience-centered).
Ø  Aliran belles lettres (retorika belletris), aliran ini mengutamakan keindahan bahasa , segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Jadi, kedua aliran di atas terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato-pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa.
Ø  Aliran elokusionis, aliran ini justru menekankan teknik penyampaian pidato. Aliran ini mendapat kritikan karena perhatian- dan kesetiaan- yang berlebihan pada teknik.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking.

Unsur-unsur Bunyi dalam Sajak


Laporan Bacaan
Mata Kuliah Telaah Puisi Indonesia

Judul Buku                            : MEMBACA DAN MENILAI SAJAK:
                                                 Pengantar Pengkajian dan Interpretasi
Pengarang                             : Hasanuddin WS
Tahun Terbit                         : 2002
Penerbit                                 : Angkasa
Kota Terbit                            : Bandung
Jumlah Halaman Buku        : xviii + 157 halaman
Bagian yang merupakan bab kedua dari buku ini, yang membahas tentang bunyi dalam sajak. Bahasa dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi, bunyi dirangkai dengan menggunakan pola tertentu. Sajak yang dibacakan maka pertama-tama yang ditangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi, bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.
Bunyi di dalam sajak meliputi hal-hal sebagai berikut:
Irama, Metrum, Kakafoni, Efoni, Onomatope, Asonansi, Aliterasi, Anafora. Dari penguraian di atas akan diuraikan satu persatu.
1.      Irama
Masalah irama pada hakikatnya membicarakan musik, masalahnya irama erat hubungannya dengan bunyi, dan irama tidak identik denga bunyi itu sendiri. Irama bukan sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menghasilkan suasana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme dan metrum. metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama yang di sebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair. (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Dengan demikian metrum hampir di katakan tidak ada di dalam sajak-sajak Indonesia. Kalaupun ada metrum itu bersifat individual yang digunakan tanpa patokan atau aturan tertentu karena metrum disandarkan pada suku kata. Hal itu dapat dipahami karena bahasa Indonesia di dalam sajak-sajak lebih bersandar pada kata. Mungkin yang terasa mempunyai metrum adalah pantun dan syair.
Di dalam sajak-sajak Indonesia hal yang lebih menonjol, secara sadar atau tidak adlah ritmenya. Ritme ini dapat timbul dengan mempertentangkan bunyi, perulangan serta membuat pola tertentu dengan memilih kata dengan bunyi yang cocok.
Adanya irama didalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu, juga menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui irama di dalam sajak, penikmat sajak dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap proses penikmatan dan pemahaman terhadap sajak yang dihadapi.
2.      Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesuraman. Kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkai berasal dari konsonan tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan persaan jiwa yang tertekan gelisah bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan efek semacam ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).
Kebalikan dari keburaman adalah kesan suasana cerah adalah kesan yang membangkitkan keceriaan dan rasa riang serta nyaman. Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakuakan dengan cara demikian, menciptakan bunyi-bunyi yang ringan dan lembut, mesra dan bahagia. Contohnya pada sajak Episode (Rendra), pembaca digiring serta pada suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang sedemikian itu dikenal dengan istilah efoni (euphony).
3.      Onomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah onomatope. Istilah onomatope menurut kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang.
Penggunaan tiruan bunyi dimaksudkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas. Misalnya peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, ”gemercik air pencuran”, ”desau angin”, ”derap langkah kuda” adalah onomatope. Penggunaan tiruan bunyi seperti hal-hal di atas sering ditemukan didalam sajak.
4.      Aliterasi
Pemanfaatan dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan. Misalnya sajak Sepisupi Sutardji Calzoum Bachri, dapat dipahami bahwa aliterasi yang digunakan pada sajak tersebut adalah persamaan serta perulangan bunyi /s/ pada awal kata setiap barisnya.
5.      Asonansi
Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan alitelerasi hanya pengulangan disni merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang di harapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi. Sebagaimana aliterasi, asonansi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal dapat disebut asonansi. Pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak) yang dapat di kategorikan sebagai asonansi.
Asonansi ini contohnya terdapat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau, menggunakan unsur asonansi untuk menciptakan kemerduan bunyi, misalnya asonansi a dan u pada cintaku jauh di pulau kemudian juga dimanfaatkan asonansi a pada perahu melancar, bulan memancar.
6.      Anafora dan Epifora
Anafora dan epifora cara menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap-tiap larik atau baris sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
Pengulangan kata yang sama menimbulkan pengulangan bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Di dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, para penyair lebih cenderung memanfaatkan anafora di banding epifora.
Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan kecermatan serta keahlian penyair, sehingga bunyi yang dihasilkan serta merta menggoda telinga karena bunyi yang menarik untuk di simak lebih jauh, unsur bunyi diramu dan ditata oleh penyair di dalam sajak. Kepuitisan diharapkan dapat menimbulkan keharuan. Karena, keharuan pembacalah yang dapat mengantarkan pembaca menemukan sebuah dunia, dunia sebuah sajak. Dunia yang dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat sajak.

Bahan Ajar Pengajaran Keterampilam Apresiasi Sastra

Identifikasi Cerpen
Cerpen merupakan jenis (genre) sastra yang paling banyak diminati orang. Setiap minggu, begitu banyak cerpen bermunculan di media massa. Gemarkah Anda membaca cerpen? Dalam pelajaran kali ini, Anda akan berlatih untuk mengidentifikasi cerpen yang akan dibacakan oleh teman Anda. Anda akan melakukan analisis terhadap alur, penokohan, dan latar yang ada dalam cerpen tersebut. Setelah itu, Anda akan mendiskusikannya di dalam kelas. Dengan kegiatan ini, diharapkan Anda semakin gemar membaca cerpen dan pandai mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang ada di dalamnya.
Anda tentu pernah membaca cerpen. Cerpen tersebut dapat ditemukan dengan mudah dalam majalah anak-anak yang sering Anda baca sejak kecil, majalah remaja yang kini gemar Anda baca, juga dalam surat kabar. Sudah berapa judul cerpen yang Anda baca? Tentunya sudah sangat banyak. Cerpen merupakan salah satu genre sastra selain novel, puisi, hikayat, dan naskah drama. Seperti halnya novel, cerpen dapat dikategorikan sebagai karya prosa fiksi. Cerita pendek sering disebut sebagai cerita rekaan yang relatif pendek karena dapat selesai dibaca dalam satu kali pembacaan. Dalam penyajiannya, cerpen disusun secara cermat dan hemat serta berfokus pada satu pokok permasalahan.
Cerpen memiliki unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian penting dalam terbentuknya sebuah cerita. Unsurunsur tersebut adalah alur, penokohan, dan latar. Dalam pembelajaran kali ini, Anda akan belajar menganalisis unsur-unsur tersebut. Akan tetapi, sebelum membahas unsur-unsur tersebut lebih dalam, sebaiknya kita dengarkan dulu pembacaan cerpen yang akan disampaikan oleh teman Anda berikut:
MALING
Karya Lidya Kartika Dewi
Sejak merenovasi rumahnya yang sederhana menjadi rumah megah, perilaku keluarga Pak Cokro berubah total! Berada persis di depan sebuah gang yang tidak terlalu lebar, rumah Pak Cokro kini bak istana yang berdiri di antara rumah-rumah sederhana dan sangat sederhana para tetangganya.
Dulu, sebelum rumahnya direnovasi, Pak Cokro dan istrinya sangat ramah dan menjaga hubungan baik dengan para tetangganya, terlebih dengan keluarga Bu Marni yang rumahnya persis di depan rumah Pak Cokro. Begitu dekatnya hubungan bertetangga itu, sehingga mereka sudah seperti saudara. Bila punya kelebihan makanan, Pak Cokro selalu menyuruh istrinya membaginya pada Bu Marni. "Kasihan. Bu Marni sudah janda, sedang empat anaknya masih kecil-kecil," katanya.
Bu Marni membalas kebaikan Pak Cokro dan istrinya dengan sikap kekeluargaan yang tak kalah intimnya. Sering Bu Marni membantu pekerjaan rumah Bu Cokro, tanpa pernah minta imbalan. Sejak mencuci baju, menyeterika, sampai mengepel lantai. Tapi Bu Cokro sangat tahu kalau membantu bersih-bersih di rumah tetangga merupakan sumber nafkah Bu Marni. Bu Cokro pun selalu memberi imbalan uang yang sangat pantas, sehingga hubungan bertetangga mereka sangat mesra dan harmonis.
Tapi kini, kemesraan dan keharmonisan itu sudah tiada. Rumah Pak Cokro yang sekarang bertingkat dua dan megah bak istana itu berpagar tinggi. Jangan lagi untuk menjenguk ke dalam rumah yang megah itu, untuk melihat teras depannya saja sekarang Bu Marni tidak bisa. Karena pagar depan rumah yang tinggi itu ditutup pula dengan fiberglas warna biru tua. Maka semakin jauhlah jarak hubungan antara keluarga Pak Cokro dengan para tetangganya, juga dengan Bu Marni. Apalagi, untuk mengurusi rumahnya yang besar itu Pak Cokro kini sudah mempekerjakan dua orang pembantu yang diambil dari desa.
Bu Marni, juga para tetangga yang lain, bisa memahami perubahan sikap keluarga Pak Cokro. Mereka memaklumi. OKB, orang kaya baru, biasanya memang sombong! Para tetangga, juga Bu Marni, tak ambil peduli.
Tapi, sore itu kuping Bu Marni memanas. Motor bebek yang biasa dipakai Hendi, anak Pak Cokro yang kedua, hilang. Mengetahui hal itu, dengan membuka pintu pagar depan rumahnya lebar-lebar, Pak Cokro yang baru pulang kerja langsung berteriak-teriak.
"Makanya, Hendi, kamu itu jangan sembrono! Nyimpan motor di luar pintu pagar rumah, ya pasti dicolong maling! Sekarang memang banyak maling di sekitar rumah kita ini. Jangan lagi motor. Sandal, sepatu, sapu, payung, bahkan pot bunga aja kalau disimpan di luar pintu pagar, pasti hilang! Ngerti kamu?"
"Ngerti, Pak," jawab Hendi lirih. "Makanya kamu harus hati-hati! Kamu harus tahu, apa pekerjaan orang depan rumah kita itu?" Hendi membisu. "Kamu juga harus tahu," tukas Pak Cokro pula. "Banyak orang iri pada kita. Sehingga, orang yang tadinya baik, bisa jadi maling!" Bu Marni, yang kala itu sedang menyapu teras depan rumahnya, merasa tersinggung oleh kata-kata Pak Cokro yang seperti sengaja dibidikkan padanya. Secara tidak langsung Pak Cokro telah menuduhnya sebagai maling.
Segera Bu Marni meletakkan sapunya. Tapi, ketika ia bergegas melangkah menghampiri rumah Pak Cokro, dengan tergesa dan menghentak Pak Cokro menutup pintu   Sedang Bu Marni yang sudah terlanjur dibakar api kemarahan, dengan sedikit kasar mengetuk-ketuk pagar yang ditutupi fiberglas itu sambil berseru, "Assalamualaikum!" Terpakasa Pak Cokro membuka kembali pintu pagar rumahnya dan menghampiri Bu Marni. "Ada apa, Bu?" tanya Pak Cokro, berlagak bego. "Pak Cokro menuduh saya mencuri motor bebek Hendi?" suara Bu Marni memburu. "Ah, siapa yang bilang?" Pak Cokro pasang mimik serius. "Saya dengar waktu Pak Cokro berteriakteriak memarahi Hendi," kata Bu Marni.
"Ah, itu perasaan Bu Marni saja," suara Pak Cokro berubah santai, ramah. "Percaya, Bu, saya nggak nuduh siapa-siapa. Saya hanya memarahi Hendi agar tidak teledor. Gang depan rumah kita ini kan jalan yang hidup. Banyak orang lalu-lalang. Jadi mana bisa saya menuduh orang sembarangan?"
Bu Marni terdiam, tak mampu untuk membela diri lebih jauh. Lalu tanpa permisi ia pergi meninggalkan halaman rumah Pak Cokro, walau di dalam hatinya masih tersimpan rasa kesal. Sepeninggal Bu Marni, Pak Cokro menutup pintu pagar rumahnya sambil bergumam, "Huh, dasar miskin. Ada orang ngomong sedikit keras aja tersinggung!"
Akhir-akhir ini, sore hari, sering kali pintu pagar depan rumah Pak Cokro dibuka lebar-lebar. Dan, beberapa kali secara tidak serngaja Bu Marni melihat Pak Cokro tengah duduk melamun. Awalnya Bu Marni menduga Pak Cokro kelelahan setelah seharian bekerja. Tapi, belakangan Bu Marni mulai curiga, ketika mulai ramai disiarkan di beberapa stasiun TV, bahwa di departemen tempat Pak Cokro bekerja telah terbongkar sebuah mega korupsi.
Apakah Pak Cokro terlibat di dalamnya? Bukan hanya Bu Marni, tapi para tetangga juga mulai ramai berbisik-bisik tentang dugaan keterlibatan Pak Cokro. Dan, dugaan itu menjadi kenyataan, ketika siaran berita di TV mulai menyebut-nyebut nama Pak Cokro terlibat dalam mega korupsi itu.
Bu Marni menghela napas puas. Sakit hatinya karena dicurigai sebagai maling oleh Pak Cokro kini mendapatkan momen untuk dilampiaskan. Maka ketika sore itu pintu pagar depan rumah Pak Cokro terbuka lebar dan tampak Pak Cokro tengah duduk melamun, Bu Marni langsung berkata dengan suara keras, menyambut Sekar, anaknya yang pertama yang baru pulang dari mengaji di rumah Ustadzah Yoyoh.
"Makanya, Sekar, kamu belajar ngaji yang baik. Biar moralmu baik. Agar kalau besok-besok kamu jadi pejabat, kamu nggak jadi maling!" Seakan tahu kepada siapa ucapan ibunya ditujukan, cepat Sekar menukas, "Ah, kalau pejabat bukan maling, Bu. Tapi korupsi!" "Ah, itu kan hanya istilah!" teriak Bu Marni. "Tapi hakekatnya sama saja, maling! Banyak duit dari hasil maling aja sombong!"
Mendengar teriakan Bu Marni, Pak Cokro tak tahan. Ia tahu, teriakan itu ditujukan kepadanya. Buru-buru Pak Cokro bangkit dari duduk dan segera menutup pintu pagar depan rumahnya rapat-rapat.
Melihat ucapannya mengenai sasaran, Bu Marni dan Sekar berpelukan sambil tersenyum penuh kemenangan. Beberapa hari yang lalu sang ibu memang telah mengatakan pada sang anak, bahwa ia akan melampiaskan dendamnya pada Pak Cokro. Kini sakit hati itu telah terbayar!
Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari masih malu-malu bersinar dari ufuk timur. Pohon jambu air yang daunnya rimbun dan buahnya lebat yang tumbuh di halaman depan rumah Bu Marni masih tampak segar, karena masih digayuti embun. Dan, Bu Marni tengah sibuk menyapu halaman depan rumahnya yang dikotori daun-daun jambu air yang gugur, saat terdengar sebuah suara memberi salam.
"Assalamualaikum." Bu Marni menghentikan aktifitasnya menyapu dan menatap ke arah pintu pagar. "Waalaikumsalam. Eh, Bu Cokro." Bu Marni meletakkan sapu lidi sembarangan dan bergegas ke pintu pagar dan membukanya. "Mari masuk, Bu," ucapnya, ramah. "Maaf, mengganggu." Senyum Bu Cokro, sedikit rikuh. "Oh, nggak, nggak." Bu Marni melangkah ke teras. Bu Cokro membuntuti. Di kursi teras keduanya duduk berdampingan. "Ada perlu apa, Bu?" kening Bu Marni berkerut, penuh tanya. "Kalau bersedia, saya minta Bu Marni membantu- bantu lagi di rumah saya," kata Bu Cokro, hati-hati. "Lho, memang pembatu rumahnya ke mana, Bu?" tanya Bu Marni heran. Benar-benar heran. Ia memang tak tahu persis apa yang telah terjadi di dalam rumah besar bak istana itu.
"Sebelum digelandang ke hotel prodeo, Pak Cokro meminta dua pembantu rumah kami supaya dipulangkan ke desa. Sebagai gantinya memohon Bu Marni untuk kembali membantu-bantu di rumah kami." "Ooo." Bu Marni manggut-manggut. "Bu Marni mau, kan?" sela Bu Cokro, penuh harap.
Bu Marni tidak segera menjawab. Teringat ia pada sikap kasar dan sombong keluarga Pak Cokro setelah jadi orang kaya. Tapi segera pula Bu Marni menyadari posisinya sebagai janda miskin dengan empat anak. Demi urusan perut dan biaya pendidikan keempat anaknya, rasa sakit hati itu harus Bu Marni buang jauh-jauh.
"Ya ya saya mau, Bu," ucap Bu Marni sumringah, bungah. "Tapi maaf, Bu. Kalau boleh saya tahu, hotel prodeo itu apa?" Sesaat Bu Cokro tampak ragu untuk bicara. "Penjara," katanya kemudian. "Tapi suami saya nggak bakal lama mendekam di sana. Paling lama satu tahun. Itu karena kesalahan Pak Cokro tidak terlalu besar." "Ooo." Kembali Bu Marni manggut-manggut. "Yah, nggak apa-apalah dipenjara. Itung-itung istirahat dari rutinitas kerja," sambung Bu Cokro. "Karena walau dipenjara, saya sudah lihat, tempatnya enak, seperti di hotel. Ada AC, kulkas, juga TV." "Ooo." Lagi-lagi Bu Marni hanya bisa manggutmanggut.
Sumber: Republika, 26 Agustus 2007
Setelah selesai mendengarkan pembacaan cerpen tersebut, Anda dapat melanjutkan kegiatan menganalisis unsur-unsur intrinsik yang telah dikemukakan sebelumnya.
1.        Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Berdasarkan susunan periode waktu, alur dapat dibedakan menjadi alur konvensional dan alur nonkonvensional. Suatu cerpen dikatakan memiliki alur konvensional jika waktu dalam cerita berurutan dari periode pertama sampai periode akhir. Sementara itu, cerita dikatakan memiliki alur nonkonvensional jika periode-periode dalam cerita tidak berurutan.
Cerpen berjudul "Maling" yang telah Anda baca menggunakan alur nonkonvensional. Dalam cerpen tersebut, terjadi kilas balik yang menampilkan gambaran masa lalu kehidupan keluarga Pak Cokro. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Dulu, sebelum rumahnya direnovasi, Pak Cokro dan istrinya sangat ramah dan menjaga hubungan baik dengan para tetangganya, terlebih dengan keluarga Bu Marni yang rumahnya persis di depan rumah Pak Cokro. Begitu dekatnya hubungan bertetangga itu sehingga mereka sudah seperti saudara. Bila punya kelebihan makanan, Pak Cokro selalu menyuruh istrinya membaginya pada Bu Marni. "Kasihan. Bu Marni sudah janda, sedang empat anaknya masih kecil-kecil," katanya.
Setelah bagian yang menunjukkan kehidupan masa lalu keluarga Pak Cokro tersebut, alur bergerak secara konvensional karena tidak ada lompatan waktu ke masa lalu lagi.
2.        Penokohan
Dalam sebuah cerpen, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh pendukung. Tokoh utama adalah peran inti yang paling penting dalam sebuah cerita. Adapun tokoh pendukung adalah tokoh yang melengkapi keberadaan tokoh utama. Meskipun tokoh pendukung sering dikatakan sebagai tokoh yang tidak penting, sebetulnya tokoh pendukunglah yang menyokong keberadaan tokoh utama.
Untuk menentukan mana yang merupakan tokoh utama dan tokoh pendukung, dapat ditentukan dengan mengamati hal-hal berikut.
a.       Melihat kuantitas kemunculan tokoh tersebut dalam cerpen.
b.      Memerhatikan petunjuk yang diberikan oleh pengarang melalui komentar pengarang.
Dalam cerpen "Maling", tokoh utamanya adalah Pak Cokro dan Bu Marni. Kedua tokoh ini memegang peranan sentral. Pak Cokro digambarkan sebagai seorang OKB (orang kaya baru) yang angkuh dan sombong sejak menjadi kaya. Sementara Bu Marni digambarkan sebagai orang miskin yang berbesar hati, namun kesal juga melihat tingkah Pak Cokro, tetangganya.
Kemunculan kedua tokoh tersebut memunculkan berbagai nilai kemanusiaan Sekarang, dapatkah Anda menyebutkan tokoh pendukung dalam cerpen tersebut? Jangan lupa kemukakan juga fungsi keberadaan tokoh tersebut di dalam cerita.
3.        Latar
Latar merupakan salah satu unsur pelengkap isi cerita yang tidak bisa dipisahkan dari analisis aspek tekstual karya sastra. Begitu juga dalam cerpen, latar memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun cerita secara utuh. Latar merupakan salah satu unsur pelengkap isi cerita. Latar atau setting mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan nyata pada pembaca, yakni menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Latar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu latar tempat dan latar waktu. Latar tempat merupakan bentukan lokasi tiap-tiap peristiwa terjadi, sedangkan latar waktu merupakan bentukan waktunya. Dalam cerpen "Maling", latar tempat yang digunakan adalah di sekitar tempat tinggal Pak Cokro dan Bu Marni. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Tapi, sore itu kuping Bu Marni memanas. Motor bebek yang biasa dipakai Hendi, anak Pak Cokro yang kedua, hilang. Mengetahui hal itu, dengan membuka pintu pagar depan rumahnya lebar-lebar, Pak Cokro yang baru pulang kerja langsung berteriak-teriak. Juga dalam kutipan berikut.
Sementara itu, latar waktu yang digunakan adalah sore dan pagi hari. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. Akhir-akhir ini, sore hari, sering kali pintu pagar depan rumah Pak Cokro dibuka lebar-lebar. Dan, beberapa kali secara tidak sengaja Bu Marni melihat Pak Cokro tengah duduk melamun. Awalnya Bu Marni menduga Pak Cokro kelelahan setelah seharian bekerja. Tapi, belakangan Bu Marni mulai curiga, ketika ramai disiarkan di beberapa stasiun TV, bahwa di departemen tempat Pak Cokro bekerja telah terbongkar sebuah mega korupsi.
Maka ketika sore itu pintu pagar depan rumah Pak Cokro terbuka lebar dan tampak Pak Cokro tengah duduk melamun, Bu Marni langsung berkata dengan suara keras, menyambut Sekar, anaknya yang pertama yang baru pulang dari mengaji di rumah Ustadzah Yoyoh.
Kegiatan membaca cerpen dapat memberikan hiburan sekaligus nilai-nilai kehidupan bagi Anda.
Sumber: Dokumentasi pribadi
Juga dalam kutipan berikut. Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari masih malu-malu bersinar dari ufuk timur. Pohon jambu air yang daunnya rimbun dan buahnya lebat yang tumbuh di halaman depan rumah Bu Marni masih tampak segar, karena masih digayuti embun. Dan, Bu Marni tengah sibuk menyapu halaman depan rumahnya yang dikotori daun-dauan jambu air yang gugur, saat terdengar suara memberi salam.
Setelah melakukan analisis terhadap ketiga unsur intrinsik dalam cerpen "Maling" tersebut, kerjakanlah latihan berikut.
1.        Bentuklah kelompok yang terdiri atas 4–5 orang.
2.        Carilah cerpen yang akan Anda analisis unsur-unsur intrinsiknya. Anda dapat mencarinya di surat kabar, majalah, buku kumpulan cerpen, atau situs internet.
3.        Bacakanlah cerpen tersebut secara bergantian (Anda dapat membagi-bagi jatah penggalan cerpen yang akan dibaca bergantian tersebut).
4.        Setelah mendengarkan cerpen tersebut, analisislah unsur-unsur intrinsiknya, yaitu alur, penokohan, dan latar.
5.        Diskusikanlah dengan teman satu kelompok Anda agar diperoleh hasil analisis terbaik.
6.        Buatlah laporan hasil pekerjaan.
Setelah melakukan analisis terhadap ketiga unsur intrinsik dalam cerpen "Maling" tersebut, kerjakanlah latihan berikut.
Kegiatan Lanjutan
1.        Perbanyaklah aktivitas Anda dalam membaca cerpen, terutama cerpen yang terbit di surat kabar.
2.        Dengan banyak membaca cerpen, Anda dapat belajar menulis cerpen yang juga memiliki peluang untuk dimuat di media massa.

Puisi Fenomenal dalam Dunia Sastra "Hujan Bulan Juni" Karya Sapardi Djoko Damono

Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono Identitas Buku Judul: Hujan Bulan Juni Penulis:  Sapardi Djoko Damono ...