Saturday, October 29, 2011

Unsur-unsur Bunyi dalam Sajak


Laporan Bacaan
Mata Kuliah Telaah Puisi Indonesia

Judul Buku                            : MEMBACA DAN MENILAI SAJAK:
                                                 Pengantar Pengkajian dan Interpretasi
Pengarang                             : Hasanuddin WS
Tahun Terbit                         : 2002
Penerbit                                 : Angkasa
Kota Terbit                            : Bandung
Jumlah Halaman Buku        : xviii + 157 halaman
Bagian yang merupakan bab kedua dari buku ini, yang membahas tentang bunyi dalam sajak. Bahasa dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi, bunyi dirangkai dengan menggunakan pola tertentu. Sajak yang dibacakan maka pertama-tama yang ditangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian bunyi, bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa maka bunyi itu sekaligus mengandung makna.
Bunyi di dalam sajak meliputi hal-hal sebagai berikut:
Irama, Metrum, Kakafoni, Efoni, Onomatope, Asonansi, Aliterasi, Anafora. Dari penguraian di atas akan diuraikan satu persatu.
1.      Irama
Masalah irama pada hakikatnya membicarakan musik, masalahnya irama erat hubungannya dengan bunyi, dan irama tidak identik denga bunyi itu sendiri. Irama bukan sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menghasilkan suasana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme dan metrum. metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama yang di sebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair. (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Dengan demikian metrum hampir di katakan tidak ada di dalam sajak-sajak Indonesia. Kalaupun ada metrum itu bersifat individual yang digunakan tanpa patokan atau aturan tertentu karena metrum disandarkan pada suku kata. Hal itu dapat dipahami karena bahasa Indonesia di dalam sajak-sajak lebih bersandar pada kata. Mungkin yang terasa mempunyai metrum adalah pantun dan syair.
Di dalam sajak-sajak Indonesia hal yang lebih menonjol, secara sadar atau tidak adlah ritmenya. Ritme ini dapat timbul dengan mempertentangkan bunyi, perulangan serta membuat pola tertentu dengan memilih kata dengan bunyi yang cocok.
Adanya irama didalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu, juga menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui irama di dalam sajak, penikmat sajak dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap proses penikmatan dan pemahaman terhadap sajak yang dihadapi.
2.      Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesuraman. Kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkai berasal dari konsonan tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan persaan jiwa yang tertekan gelisah bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan efek semacam ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).
Kebalikan dari keburaman adalah kesan suasana cerah adalah kesan yang membangkitkan keceriaan dan rasa riang serta nyaman. Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakuakan dengan cara demikian, menciptakan bunyi-bunyi yang ringan dan lembut, mesra dan bahagia. Contohnya pada sajak Episode (Rendra), pembaca digiring serta pada suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang sedemikian itu dikenal dengan istilah efoni (euphony).
3.      Onomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah onomatope. Istilah onomatope menurut kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang.
Penggunaan tiruan bunyi dimaksudkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas. Misalnya peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, ”gemercik air pencuran”, ”desau angin”, ”derap langkah kuda” adalah onomatope. Penggunaan tiruan bunyi seperti hal-hal di atas sering ditemukan didalam sajak.
4.      Aliterasi
Pemanfaatan dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan. Misalnya sajak Sepisupi Sutardji Calzoum Bachri, dapat dipahami bahwa aliterasi yang digunakan pada sajak tersebut adalah persamaan serta perulangan bunyi /s/ pada awal kata setiap barisnya.
5.      Asonansi
Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan alitelerasi hanya pengulangan disni merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang di harapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi. Sebagaimana aliterasi, asonansi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal dapat disebut asonansi. Pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak) yang dapat di kategorikan sebagai asonansi.
Asonansi ini contohnya terdapat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau, menggunakan unsur asonansi untuk menciptakan kemerduan bunyi, misalnya asonansi a dan u pada cintaku jauh di pulau kemudian juga dimanfaatkan asonansi a pada perahu melancar, bulan memancar.
6.      Anafora dan Epifora
Anafora dan epifora cara menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap-tiap larik atau baris sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
Pengulangan kata yang sama menimbulkan pengulangan bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Di dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, para penyair lebih cenderung memanfaatkan anafora di banding epifora.
Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan kecermatan serta keahlian penyair, sehingga bunyi yang dihasilkan serta merta menggoda telinga karena bunyi yang menarik untuk di simak lebih jauh, unsur bunyi diramu dan ditata oleh penyair di dalam sajak. Kepuitisan diharapkan dapat menimbulkan keharuan. Karena, keharuan pembacalah yang dapat mengantarkan pembaca menemukan sebuah dunia, dunia sebuah sajak. Dunia yang dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat sajak.

No comments:

Puisi Fenomenal dalam Dunia Sastra "Hujan Bulan Juni" Karya Sapardi Djoko Damono

Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono Identitas Buku Judul: Hujan Bulan Juni Penulis:  Sapardi Djoko Damono ...